KetikPos.com - Dalam era digital sekarang ini, dunia menghadapi berbagai tantangan terutama di bidang-bidang yang terdisrupsi yang salah satunya adalah media dan jurnalisme.
Memang berbagai inovasi dan upaya membantu mengembangkan dunia tersebut, namun di sisi lain justru mengancamnya.
Hal Ini terbukti dari banyaknya pengaduan yang masuk ke Dewan Pers terkait minimnya profesionalisme media.
Bila semakin mudah dan murah sebuah media diciptakan di era digital, maka kualitas jurnalisme justru semakin mengkhawatirkan.
Dari data yang diungkapkan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana, ada 97 persen kasus pengaduan pelanggaran pers yang diterimanya dilakukan oleh media online.
“Saat ini lebih banyak media yang tidak profesional. Jadi kalau ada aduan 1.000 media ke Dewan Pers, itu biasanya terdiri dari 600 media yang tidak profesional. Banyak orang yang tidak memiliki kualifikasi yang mumpuni untuk membuat media mereka sendiri,” tutur Yadi dalam Seminar Nasional “Jurnalistik yang Mengancam Jurnalisme” di Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta, belum lama ini.
Mengenai perusahaan media yang tidak profesional itu umumnya memiliki beberapa ciri khas. Di antaranya menurut Yadi adalah perilaku wartawan yang memeras, menggunakan LSM, bekerja sama dengan oknum aparat, serta melakukan intimidasi untuk keuntungan pribadi baik ekonomi maupun sosial.
Padahal, Yadi melanjutkan, UU Pers hanya melindungi pers yang profesional, bukan pers yang tidak profesional. “Quality of journalism sejatinya harus terbebas dari intervensi,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Luviana Ariyanti, Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Turunnya kualitas jurnalisme akan menyebabkan media ditinggalkan pembaca yang semakin cerdas. Oleh karenanya, jurnalisme pun tak lagi berfungsi sebagai pengawas kekuasaan dan menuliskan persoalan publik.
Menurut Luviana, saat ini terdapat enam tantangan untuk menegakkan etika jurnalistik. Pertama, kebijakan perusahaan yang kadang tidak mengikutsertakan jurnalis atau sebelah pihak. “Misalnya, media yang berpartai, media yang melakukan sesuatu sesuai keinginan pemiliknya. Jurnalis yang bekerja di sana juga rentan PHK karena menyesuaikan kondisi pemilik medianya,” tutur Luviana.
Kedua, media saat ini lebih mengejar konten yang disukai pasar sehingga menghasilkan judul click bait dan menulis tentang tema yang sedang ramai. Ketiga, kecepatan dalam membuat berita membuat jurnalis menjiplak karena mereka dibebani target banyak berita dalam sehari.
Keempat, media umumnya menempatkan jurnalisnya hanya di pos-pos yang dianggap penting seperti DPR atau Polri sehingga membuat suara kelompok marjinal belum terwakili di media. Kelima, perusahaan pers tidak memberi edukasi terkait penegakan etika, juga peningkatan skill jurnalis. Terakhir, media saat ini minim verifikasi.
Sementara dari sisi pemilik media, CEO Kompas Gramedia, Andi Budiman Kumala, menyebutkan bahwa tantangan perusahaan media saat ini adalah berupaya bisa berdamai dengan peradaban.
Ia melanjutkan, perubahan besar di masyarakat belakangan ini dipicu oleh pandemi COVID-19. Dari situ, ia menilai bahwa pemilik media harus fokus melihat prubahan terutama di generasi Z yang merupakan populasi terbesar di Indonesia.