nasional

Izin Kelola Sumur Minyak di Muba Disorot, Pengamat Hukum Ingatkan Potensi Praktik Bagi-Bagi Jatah di Balik Kebijakan

DNU
Kamis, 17 Juli 2025 | 18:26 WIB
Febrian, pengamat hukum Unsri (Dok)

Izin Kelola Sumur Minyak di Muba Disorot, Pengamat Hukum
Ingatkan Potensi Praktik Bagi-Bagi Jatah di Balik Kebijakan

Pemberian izin pengelolaan sumur minyak rakyat di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan.

Izin tersebut diberikan menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2025, yang mengatur kerjasama pengelolaan bagian wilayah kerja untuk peningkatan produksi minyak dan gas bumi (migas), termasuk membuka peluang bagi UMKM dan koperasi untuk turut mengelola sumur minyak yang sebelumnya digarap oleh masyarakat secara tradisional.

Namun, di balik kebijakan yang secara normatif terlihat berpihak pada rakyat ini, muncul kekhawatiran akan praktik-praktik "bagi-bagi jatah" yang rentan terjadi jika tidak diimbangi dengan transparansi dan pengawasan ketat.
Pengamat hukum dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Prof. Dr. Febrian, SH., MS., memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperkaya diri atau kelompoknya.
“Peluangnya sangat besar kalau pengawasan lemah. Proses perizinan itu panjang, dari Gubernur ke Menteri ESDM melalui rekomendasi. Dalam proses itu, sangat mungkin terjadi permainan—banyak 'curut-curut' yang memanfaatkan celah,” ujar Prof. Febrian, Kamis (17/7/2025).
Ia menjelaskan bahwa dalam skema kerja sama tersebut, Petromuba, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Kabupaten Musi Banyuasin, ditunjuk sebagai pemegang saham mayoritas minimal 51 persen, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Namun, pihak swasta atau perseorangan tetap dimungkinkan untuk menjadi mitra pemilik modal.
“Saya dengar kabarnya, mitra dari Muratara dan Banyuasin bisa ikut, bahkan perorangan. Tapi yang perlu dipertanyakan, siapa perorangan itu? Apakah ada figur-figur pejabat tertentu yang terlibat diam-diam? Kalau iya, ini sangat berbahaya,” tegasnya.

Kekhawatiran ini diperkuat oleh dugaan adanya praktik tidak tertulis dalam pembagian wilayah sumur minyak, yang rawan digunakan sebagai 'jatah politik' bagi pejabat teras di tingkat daerah.
“Tidak semua tercatat secara formal. Bisa saja pembagian sumur minyaknya sudah ‘diatur diam-diam’. Nilainya besar, sangat menggiurkan. Maka Petromuba harus menempatkan diri sebagai perusahaan yang benar-benar menjalankan prinsip good clean governance—bukan sekadar formalitas,” katanya.
Lebih lanjut, mantan Dekan Fakultas Hukum Unsri itu juga mempertanyakan sejauh mana transparansi dilakukan dalam proses permohonan izin.
“Kalau prosesnya tidak terbuka, mulai dari permohonan, rekomendasi, hingga keluarnya izin, sangat mungkin ada intervensi figur tertentu. Ini yang harus dibongkar dan diawasi ketat,” katanya.
Dalam pengamatannya, Prof. Febrian melihat adanya upaya dari pihak pemerintah daerah untuk menggandeng lembaga hukum seperti Kejaksaan dalam kemitraan pengawasan. Ia menilai langkah tersebut positif, namun tidak cukup bila tidak diikuti dengan komitmen kuat terhadap integritas dan akuntabilitas.
“Kemitraan dengan Kejaksaan itu bagus, sebagai bentuk pencegahan korupsi. Tapi kalau hanya sebagai simbol, tanpa tindak lanjut dan kontrol internal yang kuat, praktik korupsi tetap bisa terjadi. Kalau ada bukti tertulis atau lisan, hal ini bisa menyeret nama-nama besar seperti Gubernur atau Bupati,” ujarnya.
Kebijakan pengelolaan sumur minyak rakyat ini sejatinya dimaksudkan untuk memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal dan mengurangi aktivitas penambangan ilegal. Namun tanpa pengawasan serius, kebijakan ini justru bisa menjadi lahan subur bagi praktik-praktik oligarki dan kolusi di tingkat daerah.

Tags

Terkini