Ketikpos.com--Sebuah layar besar di ruang konferensi Mabes Polri menayangkan sesuatu yang jarang terjadi dalam sejarah kepolisian Indonesia: pemeriksaan tujuh anggota Brimob disiarkan secara langsung ke publik.
Bukan rapat penting negara, bukan pula operasi khusus, melainkan sidang internal terhadap aparat yang diduga terlibat dalam tragedi maut, tewasnya Affan Kurniawan, driver ojol 21 tahun yang dilindas rantis Brimob saat demo di Senayan.
Bagi masyarakat yang sudah berminggu-minggu menuntut keadilan, inilah momen yang paling ditunggu: melihat langsung wajah “oknum” yang selama ini hanya disebut dalam pernyataan pers singkat.
Tontonan yang Menggetarkan
Tujuh anggota Brimob itu duduk berjejer di kursi panjang, seragam hitam mereka kini lebih menyerupai pakaian pesakitan. Kamera menyorot satu per satu, memperlihatkan wajah-wajah tegang yang berusaha menutupi rasa takut.
• Ada yang terus menunduk, seperti enggan menatap kamera.
• Seorang lainnya terlihat keringat bercucuran, tangannya gemetar saat menjawab pertanyaan penyidik.
• Bahkan seorang anggota tak kuasa menahan tangis ketika disodori pertanyaan soal tanggung jawab moral.
Adegan ini ditonton jutaan pasang mata melalui televisi nasional dan live streaming media sosial. Di Twitter/X, warganet langsung memberi julukan: “7 Wajah di Balik Roda Maut.”
Kenapa Disiarkan Live?
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan alasan langkah ekstrem ini.
“Publik berhak tahu. Polisi bukan hanya penegak hukum, tapi juga pelayan masyarakat. Kalau ada kesalahan, harus dibuka, jangan ditutup-tutupi,” tegasnya.
Polri berada dalam tekanan besar setelah gelombang protes menuntut keadilan bagi Affan. Disiarkannya pemeriksaan ini adalah strategi mengembalikan kepercayaan publik. Sebuah langkah transparansi yang jarang, bahkan mungkin belum pernah—dilakukan sebelumnya.
Publik Bereaksi: Puas, Marah, dan Curiga
Namun, tayangan live itu menuai reaksi beragam.
• Aktivis HAM menilai ini sebagai langkah maju, tapi mengingatkan agar jangan berhenti pada “drama pencitraan.”
• Warganet menyambut sinis: “Baru kali ini polisi salah, wajahnya di-zoom kayak reality show.”
• Komunitas ojol menegaskan: “Pemeriksaan live hanya permulaan. Kami ingin keadilan sampai meja pengadilan.”
Di sisi lain, beberapa keluarga korban aksi kekerasan aparat di masa lalu mengaku iri. “Seandainya dulu ada live seperti ini, mungkin kasus kami tidak terkubur,” ujar seorang aktivis yang hadir di depan Mabes Polri.
Dimensi Politik antara Polisi dan Istana
Tidak bisa dilepaskan, siaran langsung ini juga punya dimensi politik. Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menegur keras Kapolri dan memerintahkan penyelesaian kasus dengan akuntabilitas maksimal.
Menghadapi tekanan publik sekaligus tekanan politik, Polri memilih langkah dramatis: membuka tirai dapur internalnya.
Namun, para pengamat mengingatkan: transparansi tidak akan berarti tanpa keadilan nyata.
“Kalau berhenti di sini, Polri justru akan semakin kehilangan legitimasi. Rakyat akan menganggap ini sekadar pertunjukan televisi,” ujar pengamat kepolisian Heri Prasetyo.
Pertanyaan Besar: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Publik kini menunggu kelanjutan. Apakah tujuh anggota Brimob itu akan:
• Diproses pidana hingga pengadilan terbuka?
• Atau hanya menerima sanksi disiplin internal?
• Apakah komandan lapangan yang memberi perintah juga akan ikut diperiksa?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menggantung. Karena bagi rakyat, tragedi Affan bukan sekadar kesalahan individu, melainkan cermin dari cara negara memperlakukan warganya.
Antara Transparansi dan Keadilan
Disiarkannya pemeriksaan tujuh anggota Brimob menjadi tontonan bersejarah. Untuk pertama kalinya, rakyat melihat wajah aparat yang diduga bersalah, bukan hanya mendengar istilah “oknum.”
Namun, publik sadar: transparansi tanpa keadilan hanyalah sandiwara.
Polri kini berada di persimpangan jalan: menjadikan tragedi Affan sebagai momentum reformasi kepolisian, atau sekadar menambah daftar panjang drama kasus aparat yang menguap begitu saja.
(as)
#JusticeForAffan #7WajahBrimob #RodaMaut #ReformasiPolri #OjolBersatu