Duka dari Senayan
Ketikpos.com- Akhir Agustus 2025 menjadi catatan kelam bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI, 28 Agustus, seorang driver ojek online bernama Affan Kurniawan tewas tragis. Ia tergilas kendaraan taktis (rantis) Brimob yang tengah mengejar massa. Tragedi ini bukan sekadar “insiden”, melainkan potret suram bagaimana negara memperlakukan rakyat kecil yang bersuara.
Demonstrasi sejatinya adalah bagian dari ruang demokrasi. Rakyat berhak menyampaikan aspirasi di hadapan wakilnya di parlemen. Namun, bukannya mendengar, negara justru menghadirkan moncong kekerasan. DPR menutup telinga, polisi menurunkan Brimob, dan ujungnya korban berjatuhan.
Pola Lama yang Terulang
Bagi publik, wajah represif aparat bukan hal baru. Kita masih ingat:
• Tragedi Bawaslu (2019) yang menewaskan demonstran.
• Kasus KM 50 yang hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar.
• Tragedi Kanjuruhan (2022) yang menelan ratusan korban jiwa.
Kini, tahun 2025, peristiwa serupa kembali hadir di Senayan. Brimob dengan gaya militeristik, rantis yang melaju membabi buta, dan seorang rakyat kecil—ojol—tergencet hingga tewas. Semua ini memperlihatkan pola yang sama: arogansi aparat dalam menangani aspirasi rakyat.
Solidaritas Ojol dan Potensi Ledakan Sosial
Driver ojol bukan sekadar pekerja lepas. Mereka adalah wajah nyata rakyat kecil yang bertarung setiap hari dengan kerasnya kapitalisme digital. Pendapatan yang kian menipis, biaya hidup yang melonjak, serta dominasi perusahaan aplikasi raksasa membuat posisi mereka terjepit.
Selama ini, mereka hanya bisa berteriak dalam aksi damai, menuntut perlindungan dan keadilan. Namun, kematian Affan Kurniawan bisa menjadi titik balik. Dari rasa solidaritas, bisa tumbuh amarah kolektif. Dari sekadar protes, bisa berubah menjadi insureksi sosial: “Ojol Insurrection.”
Bila gelombang ini meletup, ia bukan hanya soal ojol. Buruh, mahasiswa, pelajar, hingga elemen masyarakat lain bisa menyatu dalam arus perlawanan.
Tekanan untuk Pemerintahan Prabowo
Demo yang dimulai sejak 25 Agustus lalu sesungguhnya adalah isyarat awal. Namun puncak tragedi pada 28 Agustus menjadikan isu ini kian berbahaya bagi stabilitas pemerintahan Prabowo.
Pertanyaan yang kini menggema: apakah tindakan represif aparat memang dimaksudkan untuk membungkam kritik yang terus bergulir? Bila iya, strategi ini jelas salah arah. Represi tidak akan memadamkan api protes, justru bisa memperbesar kobaran.
Kapolri Listyo Sigit di Persimpangan
Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap kepolisian, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali menjadi sorotan. Kasus Affan Kurniawan adalah puncak dari kegagalan kepemimpinan Kapolri.
Dari kriminalisasi aktivis, sikap pilih kasih dalam penegakan hukum, hingga tragedi akibat kekerasan aparat, semua menggerus kredibilitas Polri. Publik melihat polisi bukan lagi sebagai pelindung, melainkan alat kekuasaan dan modal.
Langkah paling rasional sekaligus simbolik bagi Presiden Prabowo adalah memecat Kapolri. Tanpa itu, kemarahan rakyat akan semakin sulit dibendung.
Now or Never
Situasi saat ini hanya menyisakan dua jalan:
1. Pecat Kapolri → meredam amarah rakyat, menunjukkan kepemimpinan tegas, sekaligus mengembalikan kepercayaan publik.
2. Abaikan tragedi ini → bersiap menghadapi gelombang protes yang lebih luas, bahkan potensi insureksi sosial yang bisa melebar menjadi isu politik besar.
Apabila pemerintah ragu, arah tuntutan bisa berkembang liar: dari sekadar “Ganti Kapolri”, menjadi “Adili Jokowi”, hingga “Makzulkan Prabowo-Gibran.”
Presiden Prabowo masih punya ruang untuk bertindak. Tapi ruang itu semakin menyempit. Inilah momen “Now or Never.”
sumber tulisan : M. Rizal Fadhillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
(as)
#PecatKapolri #OjolInsurrection #AffanKurniawan #TragediSenayan #BrimobBrutal #ReformasiPolri #PrabowoGibran #NowOrNever #SolidaritasOjol #KeadilanUntukRakyat #StopRepresi #DemokrasiDikepung #MakzulkanPrabowoGibran