nasional

Ribuan Kali Demo Tak Digubris: Mengapa Gelombang Aksi Kini Berubah Anarkis?

Minggu, 31 Agustus 2025 | 13:58 WIB
Ribuan Kali Demo Tak Digubris: Mengapa Gelombang Aksi Kini Berubah Anarkis? (dok)

Ketikpos.com – Dalam dua dekade terakhir, wajah demonstrasi di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan. Dari aksi damai yang penuh orasi, spanduk, dan diskusi terbuka, kini semakin sering bergeser menjadi bentrokan keras, pembakaran, hingga penjarahan. Pertanyaan besarnya: mengapa fenomena ini semakin marak?

Jawabannya, menurut banyak pengamat, sederhana namun getir: ribuan kali suara rakyat disuarakan lewat aksi demo, namun hampir selalu tidak digubris oleh penguasa.


Dari Demokrasi ke “Tembok Bisu Kekuasaan”

Demonstrasi sejatinya adalah instrumen demokrasi. Sejak Reformasi 1998, mahasiswa dan masyarakat sipil menjadi aktor utama perubahan dengan aksi massa. Namun, berbeda dengan masa lalu, kini ruang dengar pemerintah terhadap aspirasi rakyat semakin sempit.

“Kalau pemerintah sejak awal mau duduk mendengar, rakyat tidak akan sampai turun ke jalan berkali-kali. Masalahnya, demo damai itu kerap dianggap angin lalu,” kata Prof. Mahfud MD, tokoh nasional sekaligus mantan Menko Polhukam, dalam sebuah wawancara televisi.

Mahfud menilai bahwa sikap penguasa yang defensif dan cenderung menghindar dari kritik membuat masyarakat kehilangan rasa percaya diri. “Ketika suara tidak dianggap, rakyat mencari cara lain agar didengar. Di situlah anarkisme muncul,” tegasnya.


Mahasiswa Bicara: “Kami Bukan Preman, Kami Putus Asa”

Suara paling lantang datang dari mahasiswa. Rahman, Ketua BEM dari salah satu universitas ternama di Jakarta, menyebut bahwa mahasiswa selalu berusaha menjaga marwah intelektual dalam demonstrasi.
“Sejak awal kami turun dengan orasi, kajian akademik, dan naskah tuntutan yang jelas. Tapi ketika pemerintah menutup telinga, rasa frustrasi itu menumpuk. Kami bukan preman, tapi kalau seribu kali turun tanpa hasil, jangan salahkan bila akhirnya muncul letupan anarkis,” ujar Rahman.

Ia menambahkan bahwa kebiasaan aparat memblokir jalur dialog memperburuk keadaan. “Kami sering ingin bertemu pejabat untuk menyerahkan tuntutan, tapi selalu dibatasi barikade. Akhirnya gesekan tak terhindarkan,” katanya.


Siklus Anarkisme: Dari Diam, Dengar, Hingga Ledakan

Fenomena ini ibarat gunung es. Aksi-aksi damai yang sering luput dari pemberitaan menumpuk menjadi kekecewaan sosial. Begitu tak ada kanal aspirasi yang sehat, amarah rakyat meledak dalam bentuk aksi anarkis.

Menurut Dr. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional, negara justru sedang membiarkan lahirnya siklus kekerasan. “Kalau setiap kritik diabaikan, rakyat belajar bahwa damai tidak efektif. Ini sangat berbahaya karena bisa merusak legitimasi demokrasi,” jelasnya.


Media dan Publik: Anarkis Lebih “Laku”

Tak bisa dimungkiri, media pun berperan. Demo damai sering kali luput dari liputan besar. Tapi begitu ada aksi bakar ban atau bentrokan, sorotan kamera justru lebih tajam. Akibatnya, narasi publik membentuk kesan bahwa hanya dengan anarkisme, aspirasi bisa viral.

Halaman:

Tags

Terkini