nasional

Nelayan Cilincing Tersudut: Tanggul Beton laut PT KCN dan Nasib yang Terpinggirkan

Sabtu, 13 September 2025 | 00:10 WIB
Nelayan Cilincing Tersudut: Tanggul Beton laut PT KCN dan Nasib yang Terpinggirkan (dok)


Ketikpos.com - Ombak pesisir Marunda, Cilincing, kini tak lagi sekadar membawa aroma asin laut dan kehidupan nelayan. Di balik riak yang menghempas, berdiri tegak barisan beton panjang menyerupai tembok laut. Struktur ini adalah bagian dari pembangunan Pelabuhan Pier 3 milik PT Karya Citra Nusantara (KCN), yang dalam beberapa pekan terakhir memicu perdebatan sengit: infrastruktur atau penghalang hidup nelayan?

Ketua Komunitas Nelayan Cilincing, Danu Waluyo, secara terbuka menyuarakan kegelisahan. “Kami mengalami kerugian besar. Hasil tangkapan turun, biaya melaut membengkak. Hidup kami makin sulit,” ujarnya dengan nada getir.


Pembangunan Pelabuhan yang Menjadi Polemik

PT KCN, perusahaan joint venture yang bekerja sama dengan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN), BUMN di bidang logistik dan kawasan industri, sedang membangun Dermaga Pier 3. Proyek ini diklaim memiliki izin lengkap: AMDAL, PKKPRL dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga persetujuan kementerian terkait.

Pihak KCN menegaskan, struktur yang disebut “tanggul beton” itu sebenarnya adalah breakwater atau pemecah gelombang, bukan tembok penghalang laut. Breakwater ini, menurut klaim mereka, penting untuk menahan sedimentasi, menjaga perairan tetap aman, dan menopang dermaga baru.

Namun, bagi nelayan, beton itu tetaplah tembok: penghalang yang mengubah rute melaut, mengurangi hasil tangkapan, dan menambah biaya hidup.


Nelayan Merugi: Angka-angka yang Bicara

Dari berbagai wawancara dan laporan lapangan, dampak yang dirasakan nelayan bisa dirangkum sebagai berikut:
• Penurunan hasil tangkapan hingga 70% di beberapa wilayah pesisir Cilincing dan Marunda.
• Biaya operasional naik drastis karena jalur melaut harus memutar lebih jauh, membuat konsumsi bahan bakar meningkat.
• Kerugian ekonomi langsung dialami oleh sekitar 700 nelayan dengan 1.100 kapal kecil yang sehari-hari mencari nafkah di perairan Cilincing–Kalibaru–Marunda.
• Akses ke laut terbatas, meski KCN menyebut ada jalur sepanjang 800 meter yang disediakan khusus bagi nelayan.

“Dulu kami bisa langsung melaut dari pesisir. Sekarang harus mutar jauh. Solar habis lebih cepat, tapi ikan makin sedikit,” keluh seorang nelayan, sebut saja Pak Ahmad, yang sudah 20 tahun menggantungkan hidup dari laut Cilincing.


Respons PT KCN: Kompensasi, Beasiswa, hingga Akses Khusus

Di tengah desakan publik dan sorotan media, PT KCN akhirnya angkat bicara. Beberapa langkah yang diumumkan antara lain:
1. Pendataan Nelayan Terdampak
KCN bekerja sama dengan DKPKP DKI Jakarta untuk mendata nelayan yang benar-benar terdampak. Hanya mereka dengan domisili resmi, terutama KTP Jakarta—yang diprioritaskan.
2. Kompensasi Non-Tunai
Alih-alih uang tunai, KCN merancang kompensasi berbasis pemberdayaan ekonomi. Antara lain berupa subsidi, pelatihan kerja, hingga dukungan sarana.
3. Beasiswa dan Pendidikan Anak Nelayan
Anak-anak nelayan dijanjikan mendapat akses beasiswa ke sekolah pelayaran atau lembaga pendidikan vokasi, agar memiliki masa depan lebih cerah.
4. CSR Bidang Kesehatan dan Sosial
KCN juga menggulirkan program kesehatan bekerja sama dengan RS Koja dan RS Cilincing, serta membangun rumah autis di kawasan pesisir.
5. Mangrove sebagai Mitigasi Lingkungan
Perusahaan berencana menanam mangrove sepanjang 4 km di sekitar pelabuhan sebagai kompensasi ekologis.


Kritik dan Tantangan yang Tersisa

Meski langkah kompensasi diumumkan, berbagai kritik masih bergema:
• Data belum transparan: Nelayan merasa angka penurunan hasil tangkapan yang mereka alami belum diverifikasi secara independen.
• KTP sebagai syarat: Banyak nelayan yang sehari-hari melaut di Cilincing tidak memiliki KTP Jakarta. Mereka terancam tak mendapat kompensasi.
• Bantuan jangka pendek: Skema kompensasi disebut hanya berjalan hingga 2027. Bagaimana setelah itu?
• Lingkungan tercemar: Nelayan mengeluhkan air sekitar beton penuh sampah, limbah, dan makin keruh. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan ekosistem laut.


Jalan Tengah: Harapan untuk Dialog Seimbang

Halaman:

Tags

Terkini