KetikPos.com, Palembang, 16 Desember 2025 – Di tengah laju pembangunan dan ekspansi industri yang kian agresif, Lanskap Meranti–Harapan berdiri sebagai salah satu benteng terakhir hutan hujan dataran rendah Sumatera. Kawasan ini bukan sekadar hamparan hijau, melainkan rumah bagi spesies kunci yang terancam punah, penyangga iklim regional, serta tumpuan hidup ribuan masyarakat di sekitarnya.
Namun, harapan itu kini diuji. Fragmentasi habitat, deforestasi, konflik manusia–satwa, hingga tekanan infrastruktur tambang menempatkan Meranti–Harapan pada persimpangan jalan: diselamatkan melalui kolaborasi, atau perlahan tergerus oleh kepentingan sektoral.
Realitas inilah yang menjadi fokus utama Seminar dan Focus Group Discussion (FGD) yang digelar PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) bersama Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, Selasa (16/12/2025), di Palembang. Forum ini mempertemukan pemerintah, pemegang konsesi, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan dunia usaha untuk merumuskan masa depan pengelolaan Meranti–Harapan secara berkelanjutan.
Benteng Ekologis yang Kian Terfragmentasi
Lanskap Meranti–Harapan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan. Kawasan ini merupakan habitat utama Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), sekaligus koridor ekologis yang menjaga konektivitas antarblok hutan di Sumatera Selatan dan Jambi.
Dari total luas 371.054 hektare, sekitar 98.013 hektare dikelola PT REKI melalui skema PBPH Restorasi Ekosistem. Lebih dari 52 persen lanskap ini masuk ekoregion Jambi–Musi Kuantan, wilayah yang telah berstatus critically endangered akibat kehilangan tutupan hutan lebih dari 70 persen sejak 1980.
“Meranti–Harapan bukan hanya penting bagi Sumsel, tetapi bagi Sumatera dan Indonesia. Jika kawasan ini runtuh, kita kehilangan koridor terakhir bagi satwa kunci dan stabilitas ekologis regional,” ujar Adam Aziz, Direktur PT REKI.
Tantangan Multidimensi: Dari Deforestasi hingga Konflik Sosial
Data menunjukkan, sepanjang 2018–2025, deforestasi di Hutan Harapan mencapai 638,7 hektare, atau rata-rata hampir 80 hektare per tahun. Fragmentasi ini menciptakan edge effect yang mengubah mikroklimat hutan, menurunkan kualitas habitat, serta mempersempit ruang jelajah satwa liar.
Tekanan terbaru datang dari pembangunan jalan produksi tambang sepanjang 34 kilometer, yang disebut telah memfragmentasi habitat hingga 3.000 hektare. Akses terbuka tersebut mempercepat perambahan, konversi hutan menjadi kebun sawit, dan meningkatnya aktivitas ilegal.
“Dengan adanya jalan tambang, kami pesimis kawasan akan aman. Di lapangan, perubahan tutupan lahan terjadi sangat cepat,” ungkap Bambang Hutoyo dari KPH Meranti dalam diskusi.
Kondisi ini berdampak langsung pada meningkatnya konflik manusia–satwa, terutama pergerakan gajah ke area permukiman dan lahan budidaya, yang berisiko terhadap keselamatan manusia maupun satwa.
Model Pengelolaan: Tiga Pilar, Satu Lanskap
Site Manager PT REKI Dewa Gumay menjelaskan bahwa pengelolaan Meranti–Harapan dibangun di atas tiga pilar utama:
1. Kelola Kawasan
Meliputi perlindungan hutan dari illegal logging, perambahan, perburuan, hingga illegal drilling; penguatan patroli berbasis SMART Patrol dan kamera pengawas; penegasan batas kawasan; mitigasi kebakaran dan banjir; serta penanganan konflik tenurial.
2. Kelola Sosial
Mencakup pemetaan pemangku kepentingan, penguatan kelembagaan masyarakat (kelompok tani hutan dan koperasi), edukasi konservasi, pendekatan partisipatif, serta penyelesaian konflik sosial secara dialogis dan berkeadilan.
3. Kelola Ekonomi
Berfokus pada pengembangan mata pencaharian berkelanjutan melalui agroforestri, penguatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), jasa lingkungan, akses pasar, serta insentif ekonomi bagi praktik pengelolaan hutan lestari.
“Konservasi tidak akan bertahan tanpa manfaat nyata bagi masyarakat,” tegas Dewa.
Peran Strategis dalam Agenda Iklim dan Biodiversitas
Kepala Dinas Kehutanan Sumsel yang diwakili Dr. Syafrul Yunardy menegaskan bahwa lanskap Meranti–Harapan merupakan satu kesatuan ekologis dengan Hutan Harapan sebagai inti.
Inventarisasi mencatat keberadaan 307 jenis burung, 64 mamalia, 728 jenis pohon, serta spesies langka seperti orangutan, beruang madu, dan rangkong. Kawasan ini juga menyimpan potensi karbon tinggi, menjadikannya penting dalam pencapaian target FOLU Net Sink 2030.
“Kerusakan hutan bukan hanya soal hilangnya satwa, tetapi juga meningkatnya emisi gas rumah kaca dan melemahnya ketahanan iklim,” ujar Syafrul.
Koridor Satwa dan Living Lab: Solusi Berbasis Ilmu
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel menyoroti urgensi pembentukan koridor satwa, mengingat Sumsel memiliki 8 kantong habitat gajah dan 8 kantong habitat harimau yang kini terisolasi.
Riset Universitas Sriwijaya merekomendasikan restorasi koridor selebar 300–500 meter, reforestasi tepi hutan, pemulihan konektivitas hidrologi, serta monitoring adaptif berbasis data ilmiah.
Sebagai langkah konkret, Living Lab Hutan Harapan diluncurkan sebagai platform kolaboratif yang mengintegrasikan riset, inovasi sosial-ekologis, dan kebijakan publik.
Kolaborasi atau Kehilangan
FGD ini ditutup dengan kesepakatan bersama lintas pihak untuk menurunkan gagasan menjadi aksi nyata di tingkat tapak. Adam Aziz menegaskan bahwa tantangan terbesar ke depan adalah menjaga konsistensi kolaborasi.
“Meranti–Harapan adalah ujian bagi kita semua. Apakah kita mampu mengelola hutan secara kolaboratif, atau membiarkannya terkikis oleh kepentingan jangka pendek,” tandasnya.
Lanskap Meranti–Harapan kini bukan sekadar isu lingkungan, melainkan cermin masa depan tata kelola hutan Indonesia. Menjaganya berarti menjaga biodiversitas, iklim, dan harapan generasi mendatang.