nasional

Ini Cara Shalat di Atas Kendaraan saat Bepergian

Selasa, 28 Maret 2023 | 11:41 WIB
Shalat dalam kendaraan

Ini Kajian Fiqihnya قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الإِعَادَةُ لأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ

Artinya: “Ashab Syafi’i berkata, apabila waktu pelaksanaan shalat fardhu telah tiba sedangkan musafir dalam kondisi perjalanan, dan khawatir bila turun untuk shalat dengan menghadap kiblat tertinggal oleh rombongannya, khawatir terhadap keselamatan​​​​​ dirinya atau hartanya, maka dia tidak diperkenankan meninggalkan shalat dan mengeluarkan shalat dari waktunya.

Bahkan, ia harus melaksanakan shalat di atas kendaraan li hurmatil waqti (dalam rangka menghormati waktu), dan wajib baginya untuk i’adah (mengulang kembali shalatnya) karena termasuk kategori uzur yang jarang terjadi.” (Syarafuddin Yahya An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab,

Senada dengan pendapat An-Nawawi perihal teknis shalat di atas kendaraan, ada keterangan menarik yang ditulis Al-Habib Hasan bin Ahmad Al-Kaff dalam kitabnya At-Taqriratus Sadidah: وَإِذَا كَانَ يُصَلِّي فِي سَفِيْنَةٍ أَوْ قِطَارٍ وَمِثْلُهُ الْهَوْدَجُ وَالْمَرْقَدُ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُتِمَّ رُكُوْعَهُ وَسُجُوْدَهُ إِنْ سَهُلَ وَيَجِبُ عَلَيْهِ اِسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ فِي جَمِيْعِ الصَّلَاةِ إِنْ سَهُلَ عَلَيْهِ كَذَلِكَ، وَإِلَّا فَلَا يَجِبُ، وَمِثْلُ ذَلِكَ الصَّلَاةُ فِي الطَّائِرَةِ، فَتَجُوْزُ مَعَ الصِّحَّةِ صَلَاةُ النَّفْلِ، وَأَمَّا صَلَاةُ الْفَرْضِ إِنْ تَعَيَّنَتْ عَلَيْهِ أَثْنَاءَ الرِّحْلَةِ وَكَانَتْ الرِّحْلَةُ طَوِيْلَةً، بِأَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ الصَّلَاةَ قَبْلَ صُعُوْدِهَا أَوْ انْطِلَاقِهَا أَوْبَعْدَ هُبُوْطِهَا فِي الْوَقْتِ، وَلَوْ تَقْدِيْمًا أَوْ تَأْخِيْرًا، فَفِيْ هَذَا الْحَالَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ مَعَ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ. وَفِيْهَا حَالَتَانِ: إِنْ صَلَّى بِإِتْمَامِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ: فَفِي وُجُوْبِ الْقَضَاءِ عَلَيْهِ خِلَافٌ، لِعَدَمِ اسْتِقْرَارِ الطَّائِرَةِ فِي الْأَرْضِ، وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ. وَإِنْ صَلَّى بِدُوْنِ إِتْمَامِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ أَوْ بِدُوْنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ مَعَ الْإِتْمَامِ، فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ بِلَا خِلَافٍ Artinya: “Apabila seseorang melaksanakan shalat di atas perahu, kereta api, begitu pula di atas tandu dan​​​​​​ kasur yang berada di atas hewan kendaraan dan sebagainya, maka ia wajib menyempurnakan rukuk dan sujudnya apabila mudah untuk dilakukan, dan wajib baginya untuk menghadap kiblat dalam seluruh shalatnya apabila mudah dilakukan.

Apabila tidak, maka tidak wajib. Sama halnya dengan kasus di atas ialah shalat dalam pesawat terbang, maka boleh dan sah melakukan shalat sunah.

Adapun shalat fardhu yang hanya bisa dilakukan di tengah perjalanan jauh, dengan gambaran tidak mampu melakukan shalat sebelum lepas landas pesawat (take off) atau setelah mendaratnya pesawat (landing) secara tepat waktu, meski dengan cara jama’ taqdim atau jama’ ta’khir, maka dalam keadaan tersebut ia wajib melakukan shalat untuk menghormati waktu dengan tetap menghadap kiblat.

Dalam hal ini, terdapat dua kondisi: Apabila ia shalat dengan menyempurnakan rukuk dan sujud, maka dalam hukum mengulangi shalatnya terdapat perbedaan pendapat, dikarenakan pesawat tidak berpijak di atas bumi.

Menurut pendapat mu’tamad ia wajib mengqadha' shalatnya. Apabila ia shalat dengan tidak menyempurnakan rukuk maupun sujudnya, atau tidak menghadap kiblat namun menyempurnakan rukunnya, maka ia wajib untuk mengqadha' shalatnya tanpa ada perbedaan pendapat.” (Hasan bin Ahmad Al-Kaff, At-Taqriratus Sadidah fil Masailil Mufidah, [Surabaya: Dar Al-Ulum Al-Islamiyah], halaman 201).

Adapun mengenai kewajiban qadha' shalatnya, terdapat perincian sebagai berikut: Apabila dapat menyempurnakan rukun dan syarat shalatnya, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Versi pendapat mu’tamad ia wajib menqadha' shalat tersebut. Sedangkan jika tidak bisa melaksanakan syarat dan rukunnya secara sempurna, seperti halnya tidak bisa menghadap kiblat dan selainnya, maka ulama sepakat wajib untuk mengqadha' shalatnya: مَنْ خَافَ مِنْ نُزُوْلِهِ مَشَقَّةً شَدِيْدَةً أَوْ فَوْتَ رُفْقَةٍ يَتَوَحَّشُ بِفَوْتِهَا صَلَّى الْفَرْضَ رَاكِبًا بِحَسَبِ حَالِهِ وَهَلْ يُعِيْدُ؟ فِي التُّحْفَةِ يُحْمَلُ الْقَوْلُ بِالْإِعَادَةِ عَلَى مَنْ لَمْ يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ أَوْ لَمْ يُتَمِّمْ الْأَرْكَانَ وَقَالَ م ر صَلَّى وَأَعَادَهُ

Artinya: “Barangsiapa khawatir terjadi kepayahan ketika turun dari kendaraan, atau tertinggal dari rombongan, yang akan menyebabkannya berada dalam keresahan, maka ia shalat di dalam kendaraan semampunya.

Apakah ia wajib mengulai shalatnya atau tidak? Di dalam kitab At-Tuhfah redaksi ulama yang mengatakan ‘wajib mengulangi shalat’, dipahami kewajiban tersebut bagi orang yang shalat tanpa menghadap kiblat atau tidak menyempurnakan rukun-rukunnya.

Sedangkan Imam Ar-Ramli mengatakan: Ia melakukan shalat dan mengulangi shalat tersebut.” (Ali bin Ahmad Bashabirin, Ismidul Ainain fi Ba’dhi Ikhtilafis Syaikhain, [Surabaya: Al-Haramain], halaman 22).

Simpulan Dari pelbagai refernsi di atas dapat disimpulkan, teknis pelaksanaan shalat di atas kendaraan saat dalam bepergian yang sesuai fiqih ialah dengan melaksanakan rukun dan syarat shalat secara sempurna, seperti menghadap kiblat, ruku’, sujud dan lain-lain apabila mampu serta mungkin dilakukan.

Namun, jika tidak mampu serta tidak mungkin dilakukan, maka ia diperkenankan untuk melaksanakan rukun dan syarat shalat semampunya meskipun hanya dengan isyarat, dalam rangka shalat li hurmatil wakti (shalat dalam rangka menghormati waktu).

Halaman:

Tags

Terkini