KetikPos.com - Di bulan Ramadan 1446 Hijriah, langkah seribu dai yang dikirim Kementerian Agama (Kemenag) menyentuh bumi-bumi terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) Indonesia. Dari jumlah itu, 213 di antaranya adalah para daiyah—pendakwah perempuan—yang dengan penuh semangat membawa misi dakwah yang inklusif, sekaligus memberdayakan masyarakat, khususnya kaum perempuan.
Direktur Penerangan Agama Islam Kemenag, Ahmad Zayadi, menyebut kehadiran para daiyah ini adalah bagian dari strategi besar Kemenag dalam memperkuat peran perempuan dalam dakwah. "Daiyah tidak hanya menyampaikan ajaran agama, tetapi mereka juga menjadi motor penggerak perubahan sosial. Mereka hadir di tengah masyarakat untuk memberdayakan perempuan, mendidik anak-anak, dan memperkuat ketahanan keluarga,” ujarnya di Jakarta, Minggu (9/3/2025).
Misi Dakwah yang Menyentuh Kehidupan Nyata
Di lapangan, para daiyah menghadirkan dakwah yang membumi dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Subhan Nur, Analis Kebijakan Ahli Muda Kemenag, menegaskan bahwa peran mereka sangat penting, terutama dalam menjawab persoalan fikih wanita. "Banyak perempuan di daerah terpencil yang kesulitan memahami hukum Islam tentang haid, nifas, pernikahan, bahkan hak-hak mereka dalam keluarga. Daiyah menjadi tempat konsultasi yang aman dan nyaman bagi mereka,” jelasnya.
Selain menyampaikan ceramah agama dan mengajar mengaji, para daiyah juga aktif dalam program pemberdayaan ekonomi, edukasi kesehatan keluarga, hingga pembinaan akhlak generasi muda. Mereka membawa perubahan, sedikit demi sedikit, dengan sentuhan tangan yang lembut namun berdampak besar.
Jejak Perjuangan di Desa Laelangge
Salah satu kisah inspiratif datang dari Siti Kasumah (27), daiyah asal Desa Jabi-Jabi Barat, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh. Ia ditugaskan di Desa Laelangge, daerah yang hanya bisa dijangkau melalui medan berat berbatu dan tanah merah yang licin saat hujan. Namun, tantangan itu tak menyurutkan semangatnya.
“Ini adalah ladang dakwah yang nyata. Di sini, banyak ibu-ibu yang antusias belajar fikih wanita. Mereka akhirnya bisa bertanya tentang hal-hal yang selama ini mereka pendam karena tidak ada yang bisa mereka ajak bicara,” ungkap Siti, penuh haru.
Keterbatasan listrik, lemahnya jaringan internet, dan fasilitas masjid yang seadanya, tak menjadi alasan untuk menyerah. “Saya percaya, meski dengan segala keterbatasan, niat dakwah yang tulus akan selalu menemukan jalannya,” pungkasnya.
Perempuan Pelopor Dakwah Masa Depan
Kemenag berharap program pengiriman daiyah ini akan terus berkembang. “Peran mereka harus terus diperluas agar dakwah semakin inklusif, merangkul semua kalangan, dan menjawab kebutuhan masyarakat modern tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur Islam,” kata Ahmad Zayadi.
213 daiyah itu kini bukan hanya membawa pesan keagamaan, tapi juga asa dan harapan untuk masyarakat 3T. Mereka adalah bukti bahwa perempuan punya peran besar dalam mencerdaskan dan memberdayakan bangsa.(***)