KetikPos.com, Palembang — Sabtu sore, 20 Desember 2025, kawasan Kambang Iwak tidak hanya dipenuhi cahaya senja dan riak air. Dari ruang terbuka itu, Sumatra bersuara—melalui doa, puisi, musik, dan orasi yang lahir dari luka ekologis yang belum sembuh.
Acara bertajuk “Doa, Harapan, Ekspresi: Musibah Ekologis untuk Sumatra (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat)” digelar oleh Koalisi Masyarakat Puisi. Bukan sekadar pertunjukan seni, kegiatan ini menjadi ruang perjumpaan antara nurani, pengetahuan, dan perlawanan kultural.
Dari Fiksi ke Fakta
Prolog acara dibuka dengan satu kesadaran bersama: Sumatra yang dahulu sering hadir sebagai latar cerita dan mitos kini menjelma fakta pahit—banjir, deforestasi, konflik lahan, dan krisis ekologis yang berulang. Doa untuk Sumatra pun dipanjatkan, bukan sebagai ritual kosong, melainkan pengakuan bahwa alam dan manusia telah terlalu lama berjarak.
Pewara Iqbal Makazam mengantar audiens memasuki rangkaian acara, disusul sambutan Ketua Koalisi Masyarakat Puisi, Dr. Haryadi, M.Pd, yang menegaskan bahwa seni hari ini tak lagi cukup hanya indah—ia harus berani bersikap.
Musik, Puisi, dan Orasi yang Menggugat
Sesi “Harapan dan Ekspresi” dibuka dengan musik akustik Dini Okivaini, menghadirkan nada-nada lembut yang kontras dengan tema keras yang dibawa. Orasi kebijakan ekologi di Palembang disampaikan oleh Andreas OP dan Rita Sumarni, menguliti realitas tata kelola lingkungan yang kerap timpang antara kepentingan publik dan kuasa modal.
Nada perlawanan semakin tegas saat Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Yuliusman, SH, MH, menyampaikan orasi kerusakan ekologis di Sumatera Selatan. Ia menyebut bahwa bencana bukan lagi kejadian alam semata, melainkan hasil keputusan manusia yang berulang dan disengaja.
Di sela orasi, puisi-puisi dibacakan: oleh Linny Oktovianny, Rahmad Ramli, Antonarasoma, hingga Bilqis Anisa. Setiap bait seperti laporan batin—tentang sungai yang kehilangan arah, hutan yang kehilangan nama, dan manusia yang kehilangan ingatan.
Seni sebagai Narasi Perlawanan
Puncak sesi kedua ditandai orasi Dr. Tarech Rasyid berjudul “Narasi Seni Perlawanan atas Bencana Ekologis”. Ia menegaskan bahwa seni bukan pelarian dari krisis, melainkan cara lain untuk mengungkap kebenaran yang sering gagal disampaikan data dan angka.
Dongeng Kak Inug, musikalisasi puisi Efvhan Fajrullah, hingga prediksi mentalis M. Naba, memberi warna bahwa kesadaran ekologis bisa hadir lewat banyak medium—tak selalu marah, tapi tetap menggugah.
Sumatra, Kita yang Menjawab
Epilog dibawakan Anwar Putra Bayu, Ketua Koalisi Masyarakat Puisi. Open mic dibuka bagi audiens—menandai bahwa suara Sumatra bukan hanya milik panggung, melainkan milik siapa pun yang hadir dan peduli.
Acara ditutup dengan foto bersama. Namun pesan yang tertinggal jauh lebih lama: Sumatra tidak membutuhkan belas kasihan, melainkan keberpihakan.
Di Kambang Iwak sore itu, seni tak bertepuk tangan pada dirinya sendiri. Ia berdiri, menunjuk, dan bertanya: jika alam terus runtuh, kita masih ingin diam?