Merah Putih: One For All — Ketika Semangat Nasionalisme Tersandung di Judul dan Jalan Mumbai

photo author
- Jumat, 15 Agustus 2025 | 10:17 WIB
Cinepolis batal tayangkan "Merah Putih: One for All" usai banjir kritik, utamakan citra dan kepercayaan penonton. (Foto/Instagram - cinepolisid)
Cinepolis batal tayangkan "Merah Putih: One for All" usai banjir kritik, utamakan citra dan kepercayaan penonton. (Foto/Instagram - cinepolisid)

ketikPos.com — Hari Kemerdekaan biasanya jadi ajang pamer karya kebangsaan, tapi tahun ini publik justru dibuat geleng-geleng kepala oleh kemunculan film animasi bertema nasionalisme berjudul Merah Putih: One For All.

Dari namanya saja, perdebatan langsung meletup. Di tengah regulasi ketat seperti UU No. 24 Tahun 2009 dan Perpres No. 63 Tahun 2019 yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia, subjudul “One For All” terasa seperti bendera kecil berwarna… asing.

Produsernya, Toto Soegriwo, bahkan menyebut film ini menghabiskan biaya Rp 6,7 miliar—angka yang bikin netizen mendadak jadi akuntan dadakan. Apalagi, fakta yang diungkap akun YouTube Yono Jambul menunjukkan bahwa banyak aset film ini dibeli murah dari toko daring Daz3D. Adegan jalan? Ternyata “jalan Mumbai.” Harga aset? Hanya belasan dolar. Durasi pengerjaan? Kurang dari sebulan.

“Seperti dikejar upacara,” komentar seorang netizen, menyinggung rilis yang dipaksa bertepatan dengan 17 Agustus. Hasilnya, film yang diharapkan jadi bendera kebanggaan malah terasa seperti kain lap nasionalisme—bersih di niat, lusuh di eksekusi.

Yang membuat situasi makin panas, respons produser terhadap kritik justru terdengar santai. “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain,” tulisnya di Instagram. Ucapan ini malah menyiram bensin ke bara komentar, yang kini berubah jadi api unggun sarkasme di jagat maya.

Trailer Merah Putih: One For All sudah tayang di YouTube dan filmnya dijadwalkan rilis di bioskop pada 14 Agustus 2025. Meskipun kemudian, batal tayang.

Ceritanya tentang anak-anak desa yang berjuang menyelamatkan bendera pusaka. Ironisnya, di layar, bendera itu terlihat begitu Indonesia—tapi lingkungannya seperti tersesat di Asia Selatan.

Publik kini terbelah: ada yang menilai ini sekadar karya hiburan yang tak perlu dibesar-besarkan, ada pula yang melihatnya sebagai alarm bagi industri kreatif nasional untuk lebih serius menjaga identitas.
Karena di era digital ini, satu judul bisa jadi bahan bakar nasionalisme, atau… jadi meme lintas platform.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Admin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X