Jalan Panjang Teriakan “Bubarkan DPR”: Mahfud MD Bicara Konstitusi

photo author
- Rabu, 27 Agustus 2025 | 12:44 WIB
tuntutan bubarkan DPR  (dok)
tuntutan bubarkan DPR (dok)

Ketikpos.com – Teriakan “Bubarkan DPR!” lagi-lagi mengguncang Senayan. Pada 25 Agustus 2025, ribuan pelajar dan mahasiswa memenuhi jalanan di depan Kompleks Parlemen. Mereka datang bukan dengan semangat pesta demokrasi, melainkan dengan amarah—menuding DPR sibuk menambah tunjangan saat rakyat dicekik krisis.
Namun, di balik gegap gempita demonstrasi, pertanyaan yang tak kalah nyaring muncul: apakah benar DPR bisa dibubarkan?

Sosok yang paling fasih menjawab pertanyaan itu adalah Mahfud MD. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus eks Menko Polhukam ini sudah kenyang makan asam garam perdebatan hukum dan politik di republik ini.
Menurut Mahfud, sistem presidensial Indonesia menempatkan DPR sebagai lembaga permanen. Tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang memberi hak kepada presiden, apalagi massa aksi, untuk membubarkan DPR.
“Kalau ada yang menuntut pembubaran DPR lewat dekrit atau keputusan sepihak, itu ilusi. DPR hanya bisa diubah atau diganti lewat mekanisme pemilu atau amandemen konstitusi,” tegas Mahfud.
Dengan kata lain, jalan pintas politik bukan solusi. Negara hukum berdiri di atas aturan, bukan pada teriakan jalanan.

Mahfud pun tak menutup mata: seruan “bubarkan DPR” bukan tanpa sebab. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan rakyat atas:
• Skandal korupsi yang terus berulang,
• Transaksi politik yang melupakan kepentingan publik,
• Kebijakan DPR yang dinilai jauh dari realitas rakyat.
Menurutnya, energi protes itu wajar. Tetapi mengubahnya menjadi tuntutan pembubaran lembaga negara justru berbahaya.
“Protes itu penting, tapi solusinya bukan membubarkan DPR. Yang benar adalah memperkuat integritas, memperbaiki sistem rekrutmen partai, dan memastikan pemilu melahirkan wakil rakyat yang kredibel,” jelasnya.

Reformasi, Bukan Kehancuran. Sejarah Indonesia menunjukkan, mahasiswa memang motor perubahan. Dari 1966, 1998, hingga aksi Reformasi Dikorupsi 2019, suara mereka pernah mengguncang negara. Namun kali ini, Mahfud memberi peringatan: perubahan bukan berarti kehancuran institusi, melainkan reformasi yang lebih sehat.
Ada beberapa jalan konstitusional yang ia tawarkan:
1. Amandemen terbatas UUD 1945 bila memang ada kebutuhan desain ulang struktur politik.
2. Mengawal pemilu agar rakyat bisa menjatuhkan vonis politik lewat kotak suara.
3. Menguatkan lembaga pengawas supaya anggota DPR tak kebal dari jerat hukum.
“Kalau ada anggota DPR korupsi, jangan teriak bubarkan DPR. Bawa saja ke pengadilan. Itu caranya negara hukum,” ujar Mahfud.

Timeline: Dari 1966 hingga 2025
Fenomena tuntutan pembubaran DPR bukan hal baru. Berikut jejak sejarahnya:
1. 1966 – Orde Lama: Mahasiswa menuntut DPR-GR dibubarkan. Lahir DPR Sementara pasca tumbangnya Soekarno.
2. 1998 – Reformasi: Gedung DPR/MPR diduduki. DPR dianggap hanya “stempel” kekuasaan Orde Baru.
3. 2019 – Reformasi Dikorupsi: Slogan “Bubarkan DPR” kembali bergema menolak revisi UU KPK.
4. 2025 – Gelombang Aksi: Mahasiswa dan pelajar menolak kenaikan tunjangan DPR. Mahfud MD menegaskan: secara hukum DPR tidak bisa dibubarkan kecuali melalui amandemen.


Teriakan “Bubarkan DPR” memang dramatis, tetapi Mahfud MD mengingatkan bahwa negara ini berdiri di atas hukum, bukan pada gelombang massa.
“Kalau DPR dibubarkan begitu saja, kita kembali ke zaman otoriter. Itu lebih berbahaya daripada DPR yang buruk sekalipun.”
Rakyat boleh kecewa. Rakyat berhak bersuara. Tapi kanal perubahan tetaplah melalui mekanisme konstitusi—pemilu, pengawasan, dan amandemen—bukan lewat jalan pintas.

(as)
#DPR #MahfudMD #BubarkanDPR #AksiMahasiswa #Demo25Agustus #ReformasiDPR #KorupsiDPR #UUD1945 #PolitikIndonesia #BeritaTerkini #JakartaHariIni #GerakanMahasiswa #ReformasiBukanPembubaran #KrisisEkonomi #NegaraHukum

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Admin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X