Ketikpos.com, Jakarta - Pada 29 Agustus 2025, Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MHH PP Muhammadiyah) mengeluarkan pernyataan resmi yang mengecam keras tindakan brutal dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat kepolisian dalam merespons demonstrasi dan berbagai isu publik. Dalam pernyataan tersebut, MHH PP Muhammadiyah menyoroti insiden penabrakan pengemudi ojek online (ojol) yang terjadi pada 28 Agustus 2025, saat aksi massa mengkritik kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Kejadian ini dinilai sebagai puncak dari berbagai kasus kekerasan sebelumnya, seperti
Tragedi Kanjuruhan dan brutalitas aparat dalam pengamanan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pembunuhan di Luar Hukum
MHH PP Muhammadiyah mengklasifikasikan tindakan penabrakan yang menewaskan pengemudi ojol sebagai extra-judicial killing, atau pembunuhan di luar putusan pengadilan. Praktik ini dilarang keras oleh ketentuan dalam hukum HAM internasional maupun dalam mekanisme hukum HAM Indonesia. Hak untuk hidup merupakan hak asasi yang dijamin oleh UUD 1945 dan merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights).
Pernyataan tersebut juga menekankan bahwa tindakan represif ini tidak hanya mencederai nilai-nilai demokrasi, tetapi juga melanggar prinsip hukum yang dijamin oleh Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak konstitusional yang harus dilindungi, bukan direspons dengan kekerasan yang mematikan.
Tuntutan MHH PP Muhammadiyah
Menyikapi tindakan represif tersebut, MHH PP Muhammadiyah mengajukan sejumlah tuntutan kepada otoritas yang berwenang:
• Penyelidikan dan Penegakan Hukum Transparan: MHH PP Muhammadiyah mendesak Presiden dan Kapolri untuk bertanggung jawab penuh dengan mengadili dan memproses secara transparan para anggota kepolisian serta pemberi perintah yang terlibat dalam tindakan kekerasan. MHH PP Muhammadiyah juga mendesak pembentukan tim independen untuk melakukan investigasi menyeluruh dan transparan, karena mekanisme etik internal Propam tidak memadai dan hanya akan menutupi akuntabilitas.
• Reformasi Polri Secara Menyeluruh: Tragedi ini menegaskan bahwa reformasi Polri pasca-Orde Baru telah gagal. MHH PP Muhammadiyah mendesak Presiden untuk segera memerintahkan investigasi independen terhadap seluruh pelanggaran, termasuk yang terjadi di Tragedi Kanjuruhan dan pengamanan PSN. Mereka juga menyerukan audit menyeluruh terhadap penggunaan kewenangan dan persenjataan Polri untuk memastikan lembaga ini menjadi institusi sipil yang humanis, akuntabel, dan jauh dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
• Pertanggungjawaban Penuh Pejabat Negara: Kapolri wajib mengundurkan diri atau dicopot oleh Presiden karena dianggap gagal mengubah watak represif Polri dan mengkhianati amanat reformasi. Presiden sebagai kepala negara dan pemegang kendali utama kepolisian tidak bisa lepas tangan, karena sikap diamnya pemerintah atas brutalitas ini sama dengan memberikan restu pada tindakan tersebut.
• Penjaminan Hak Sipil Warga Negara: Negara harus segera membebaskan seluruh demonstran yang ditahan karena penahanan ini dinilai sebagai bentuk pembungkaman kritik yang bertentangan dengan demokrasi. Pemerintah dan DPR juga harus membuka ruang dialog dan transparansi, alih-alih menutupnya dengan kekerasan.
MHH PP Muhammadiyah menilai bahwa tragedi kekerasan negara ini menandakan situasi darurat HAM di Indonesia dan menunjukkan arah berbahaya bagi masa depan demokrasi. Tanpa adanya perubahan signifikan, Indonesia berisiko menjadi negara tiran dalam kemasan baru.
(as)
#HukumdanHAM #Muhammadiyah #BrutalitasAparat #TegakkanHAM #ReformaaiPolri #DemokrasiIndonesia