Kala Impor Beras Dihentikan: Akhir Ketergantungan atau Sekadar Rehat Sementara?

photo author
- Jumat, 10 Oktober 2025 | 07:45 WIB
Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa segera mencapai swasembada beras dalam beberapa bulan ke depan. (indonesia.go.id) (Dok)
Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa segera mencapai swasembada beras dalam beberapa bulan ke depan. (indonesia.go.id) (Dok)


KetikPos.com, Jakarta— Di tengah panasnya isu pangan global dan ancaman perubahan iklim, Indonesia memilih berdiri di atas kaki sendiri.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menegaskan bahwa impor beras akan dihentikan sementara.
Pernyataan itu datang bukan dari sembarang pejabat. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyampaikan langsung kabar tersebut usai rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Kamis (9/10/2025).
“Dua bulan ke depan, kurang lebih tiga bulan insyaallah Indonesia tidak impor lagi. Mudah-mudahan tidak ada iklim ekstrem, kita swasembada,” kata Amran dengan nada optimistis.
Optimisme itu bukan tanpa dasar. Pemerintah mengklaim produksi beras nasional kini cukup untuk menutup seluruh kebutuhan dalam negeri — sebuah pencapaian yang, jika benar-benar bertahan, bisa menandai babak baru kemandirian pangan Indonesia.
Lumbung yang Mulai Terisi
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional sepanjang 2025 telah menembus 33,1 juta ton, dan diperkirakan mencapai 34 juta ton pada akhir tahun.
Angka itu melonjak jauh dibandingkan 2024, ketika produksi hanya sekitar 30 juta ton.
Peningkatan ini disebut hasil dari kombinasi intensifikasi lahan, penyaluran pupuk bersubsidi, dan modernisasi alat pertanian. Namun, di balik keberhasilan itu, ada realitas lain yang masih membayangi: iklim ekstrem, perubahan musim tanam, dan ketergantungan pada impor benih serta pupuk.
Swasembada memang bisa dicapai di atas kertas, tapi mempertahankannya di tengah cuaca yang makin tak menentu adalah cerita lain.
Ketika Petani Mulai Tersenyum
Bagi petani, setidaknya ada kabar baik. Nilai Tukar Petani (NTP) kini mencapai 124,36 persen, jauh di atas target Kementerian Keuangan sebesar 110 persen.
Amran juga menyoroti fenomena langka: deflasi beras sebesar -0,13 persen pada September 2025, yang terjadi justru di tengah musim paceklik.
“Lima tahun terakhir, ini pertama kali harga beras turun di bulan September,” ujarnya.
Deflasi ini menandakan pasokan yang stabil dan daya beli yang relatif terjaga — kondisi yang jarang bersatu dalam waktu bersamaan. Namun, sebagian ekonom mengingatkan, harga yang turun bukan selalu kabar baik bila tidak diiringi peningkatan pendapatan petani secara riil.
Ujian Kemandirian yang Sebenarnya
Langkah penghentian impor memang mengundang tepuk tangan, tapi juga keraguan. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa setiap kali El Niño datang, atau panen terganggu di beberapa sentra produksi, impor kembali dibuka diam-diam untuk meredam gejolak harga.
Kini, dengan semangat swasembada yang diusung lebih cepat dari target, pemerintah dituntut bukan hanya menjaga produksi, tapi juga mengelola distribusi, cadangan, dan kestabilan harga.
Indonesia pernah swasembada pada era 1980-an — namun hanya seumur jagung. Tantangannya kini bukan hanya soal berapa ton gabah dipanen, tetapi bagaimana memastikan beras itu sampai ke meja rakyat tanpa harga melonjak.
Antara Janji dan Bukti
Jika benar langkah ini berlanjut, maka 2025 bisa tercatat sebagai tahun kebangkitan pangan nasional. Namun, bila hanya berhenti pada jeda impor sesaat, sejarah akan mengulang siklus lamanya: panen besar hari ini, impor besar besok.
Kemandirian pangan sejati bukan sekadar soal berhenti membeli dari luar negeri, tetapi tentang keyakinan bahwa negeri ini mampu memberi makan dirinya sendiri — dalam musim apa pun, dan dalam situasi apa pun.
Dan itulah ujian sejati di balik kalimat sederhana: “Kita tidak impor lagi.” ✦

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Admin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X