Jejak Feodalisme Modern: Ketika Status Sosial Masih Jadi Alasan untuk Diistimewakan

photo author
- Jumat, 24 Oktober 2025 | 09:02 WIB
Jejak Feodalisme Modern: Ketika Status Sosial Masih Jadi Alasan untuk Diistimewakan (Dok)
Jejak Feodalisme Modern: Ketika Status Sosial Masih Jadi Alasan untuk Diistimewakan (Dok)


KetikPos.com, Jakarta — Wacana soal praktik feodalisme modern kembali mencuat di tengah publik. Kali ini, peringatan datang dari Bupati Situbondo, Rio Wahyu Prayogo, yang menilai budaya menghormati secara berlebihan terhadap pemimpin masih kuat mengakar dan menjadi penghambat kemajuan birokrasi di Indonesia.
Dalam siniar Helmy Yahya Bicara yang tayang Kamis (23/10/2025), Rio berbagi pengalamannya sebagai kepala daerah yang kerap dihadapkan dengan bawahannya yang terlalu segan atau takut berinteraksi secara langsung.
“Saya itu sering ditemui pegawai cuma untuk memberikan laporan,” ujarnya.
“Saya tanya, kenapa harus datang, kan bisa lewat Zoom atau telepon saja?”
Menurut Rio, kebiasaan itu bukan cerminan profesionalitas, melainkan bentuk penghormatan yang berlebihan.
“Ternyata mereka segan, maksudnya menghormati. Tapi ayolah, kita butuh percepatan. Saya tidak suka tradisi yang masih terkesan feodal seperti ini,” katanya.
Pria yang dikenal sebagai “Bupati Milenial” itu menilai, mentalitas feodal masih menjadi pola pikir yang kuat di berbagai birokrasi daerah.
“Saya yakin banyak kepala daerah yang masih merasakan hal serupa. Bahkan mungkin hampir semua,” tambahnya.
Fenomena Feodalisme yang Tak Pernah Hilang
Pernyataan Rio mengundang refleksi publik, mengingat gejala feodalisme juga kerap muncul dalam kehidupan sosial dan budaya populer.
Salah satu contoh yang sempat menghebohkan adalah kasus penceramah Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah.
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial pada November 2024, Gus Miftah terlihat mengolok seorang pedagang es teh saat berceramah di Magelang, Jawa Tengah.
Aksi itu menuai kecaman luas dan dianggap merendahkan martabat orang kecil.
Belakangan, warganet juga menyoroti perilaku Miftah di sejumlah video lama—termasuk saat menoyor kepala istrinya dan mengejek pelawak Yati Pesek di depan publik.
Pengamat politik Rocky Gerung kala itu menyebut tindakan tersebut sarat dengan nuansa patriarkal dan feodal.
“Gelar ‘Gus’ membuatnya punya pengaruh besar, tapi perilakunya tidak selalu mencerminkan keteladanan,” ujar Rocky.
Tekanan publik akhirnya membuat Miftah meminta maaf dan mundur dari posisinya sebagai utusan khusus presiden bidang kerukunan beragama dan pembinaan sarana keagamaan.
Ketika Status Jadi Alasan Keistimewaan
Fenomena serupa juga terjadi di awal 2025, ketika publik dibuat heboh oleh video iring-iringan mobil berpelat RI 36 yang menggunakan pengawalan polisi.
Belakangan diketahui kendaraan itu milik Raffi Ahmad, utusan khusus presiden untuk generasi muda dan pekerja seni.
Peristiwa itu menimbulkan perdebatan soal privilege dan perlakuan istimewa bagi figur publik yang memiliki jabatan negara.
Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya mengaku telah menegur Raffi, yang kemudian memberikan klarifikasi.
“Saat itu mobil berpelat RI-36 sedang menjemput saya untuk menghadiri rapat selanjutnya,” kata Raffi.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai insiden itu mencerminkan bentuk feodalisme struktural yang masih mengakar di pemerintahan.
“Feodalisme bukan cuma soal jabatan, tapi mentalitas yang memberi keistimewaan pada status,” ujar Bivitri.
“Sebagian dari kita bahkan ikut memeliharanya—dengan selalu tunduk pada status sosial dan merasa wajib berkata ‘siap’ atau ‘mohon izin’ kepada yang berkuasa.”
Akar dan Bayang-Bayang Feodalisme
Secara historis, istilah feodalisme merujuk pada sistem sosial-politik abad pertengahan di Eropa yang menempatkan bangsawan sebagai pemilik kekuasaan mutlak, sementara rakyat hanya sebagai pengikut yang harus tunduk.
Menurut Britannica, dalam sistem itu, loyalitas dan kehormatan kepada penguasa menjadi bentuk “mata uang sosial”. Dalam konteks Indonesia modern, budaya tersebut masih hidup dalam bentuk baru—penghormatan yang berlebihan, ketakutan terhadap atasan, dan pengistimewaan status.
Ketika penghormatan berubah menjadi ketakutan atau kepatuhan buta, kemajuan dan kreativitas menjadi terhambat.
Catatan Akhir
Peringatan dari Bupati Rio Wahyu Prayogo menjadi refleksi penting bagi birokrasi dan masyarakat Indonesia.
Feodalisme mungkin sudah berganti rupa, tapi jejaknya masih nyata—baik di ruang kerja, lembaga pemerintahan, maupun budaya publik.
Budaya menghormati pemimpin tentu penting, namun ketika penghormatan berubah menjadi kultus status, di situlah kemajuan mulai terhenti.

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Admin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X