Ia membandingkan dengan model “Kyūshoku” di Jepang, di mana orang tua ikut membantu menyiapkan makanan di sekolah.
“Di Jepang, orang tua ikut masak setiap pagi. Sistem ini dibangun sejak 1930-an, dan terbukti menjaga kualitas gizi anak-anak,” jelasnya.
“Kalau di Indonesia orang tua ikut terlibat, tanggung jawabnya akan lebih kuat.”
Krisis Kepercayaan Publik dan Ancaman Terhadap Target 82,9 Juta Penerima
Kasus demi kasus ini membuat target ambisius pemerintah memberi makan 82,9 juta penerima MBG pada akhir 2025 kini terancam meleset.
Banyak pemerintah daerah melaporkan penurunan partisipasi peserta MBG hingga 35% dalam dua bulan terakhir.
Beberapa sekolah bahkan menunda sementara distribusi menu MBG sampai hasil investigasi nasional rampung.
Arah Perbaikan: Audit Nasional dan Desentralisasi Dapur
BGN kini tengah menyiapkan model desentralisasi dapur, di mana sekolah atau koperasi lokal akan menjadi mitra resmi penyedia makanan, menggantikan skema vendor besar.
Dadan Hindayana memastikan, rencana audit nasional seluruh dapur MBG akan rampung sebelum akhir tahun.
“Kami tidak ingin program ini berhenti. Tapi harus kita benahi dulu sampai benar-benar aman. Anak-anak tidak boleh jadi korban lagi,” tegasnya.
Pelajaran dari Negara Lain
Di Jepang dan Korea Selatan, program makan bergizi sekolah berjalan dengan standar transparansi tinggi, sertifikasi dapur ketat, dan keterlibatan masyarakat.
Audit dilakukan mingguan, bukan tahunan.
Pakar gizi publik dari Universitas Indonesia, Dr. Ratna Kusumawati, menilai Indonesia harus meniru model ini:
“Kuncinya bukan hanya uang atau bahan baku, tapi trust system. Kalau dapur tak terawasi, maka MBG hanya tinggal slogan.”
Membangun Ulang Kepercayaan
Krisis MBG bukan hanya soal makanan basi, tapi soal kepercayaan publik pada program sosial pemerintah.
Di tengah tekanan publik dan media, investigasi 70 kasus ini bisa jadi momentum penting untuk membangun sistem baru — yang lebih aman, transparan, dan partisipatif.