Untuk mengungkap akar masalah, dua tim investigasi nasional resmi dibentuk oleh BGN.
Tim tersebut melibatkan lembaga strategis seperti Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), BPOM, Dinas Kesehatan daerah, serta pakar kimia dan farmasi dari berbagai universitas.
“Dua tim ini bekerja lintas disiplin,” ungkap Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, di Jakarta (29/9/2025).
“Kami ingin pendekatan ilmiah dan hukum berjalan bersamaan — bukan sekadar mencari kambing hitam, tapi memperbaiki sistem.”
Tim juga bekerja sama dengan chef profesional dan ahli keamanan pangan untuk menelusuri rantai pasok bahan makanan: dari dapur, penyimpanan, hingga distribusi ke sekolah.
70 Kasus, 5.900 Korban, dan Pola yang Sama
Dari hasil investigasi awal, ditemukan pola kesamaan di sejumlah kasus:
Bahan baku tidak tersimpan dalam suhu aman, terutama lauk berprotein seperti ayam dan telur.
Tenaga dapur tidak bersertifikat higiene pangan.
Distribusi makanan terlalu lama di suhu ruang.
Kurangnya pengawasan mendadak dari BGN dan pemda.
Kasus-kasus besar tercatat di Cirebon, Banyuwangi, Palembang, dan Gorontalo, di mana ratusan siswa jatuh sakit setelah menyantap menu seragam — seperti nasi ayam suwir dan tumis sayur.
“Investigasi ini masih berjalan. Tapi indikasinya, faktor kelalaian dan ketidakterpenuhinya standar kebersihan jadi penyebab utama,” tegas Nanik.
Desakan Penutupan Total dan Keterlibatan Orang Tua
Gelombang kritik juga datang dari kalangan publik dan praktisi kuliner.
Chef profesional sekaligus podcaster kuliner, Ray Janson, mendesak agar seluruh dapur MBG dihentikan sementara untuk audit total.
“JPPI mencatat lebih dari 10 ribu anak jadi korban keracunan MBG,” ungkapnya dalam siniar Ray Janson Radio (21/10/2025).
“Penutupan 106 dapur baru dilakukan setelah ribuan anak sakit. Respons ini telat. Sistemnya harus dibenahi total.”
Sementara itu, pengusaha katering sehat, Ruben, menyoroti pentingnya keterlibatan orang tua dalam sistem penyediaan makanan anak sekolah.
