KetikPos.com - Indonesia memiliki seni wastra atau kain tradisional dan menjadi produk kerajinan tangan dan tercipta sebagai olah rasa seni dari pelbagai suku di tanah air.
Bahkan disetiap provinsi mempunyai kekhasannya sendiri, baik itu tenun, songket, batik, dan lainnya dengan beragam makna dan simbol terkandung di dalam motif kain tersebut.
Menurut Perkumpulan Wastra Indonesia dalam Pesona Padu Padan Wastra Indonesia, ada banyak teknik pembuatan wastra, seperti warna untuk kain batik, cinde, dan jumputan.
Begitu pula teknik tenun pada songket, tenun ikat, tapis, lurik, ulos, atau doyo serta teknik sulam setiap daerah berbeda beda.
Khusus teknik sulam, dapat ditemui di daerah seperti Sumatra Barat, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Hasil sulamannya pun beraneka rupa dengan motif-motif flora, fauna, alam, dan geometris.
Salah satunya adalah karawo. Itu merupakan sebuah seni wastra dari Bumi Serambi Madinah, Gorontalo. Dalam bahasa setempat, karawo artinya sulaman dengan tangan dan orang-orang di luar provinsi itu mengenalnya sebagai kerawang atau karawang.
Seni kerajinan tangan ini sudah ada sejak 1600-an, di masa Kerajaan Gorontalo atau sebelum masuknya Belanda di wilayah ini sekitar 1889. Tradisi membuat karawo atau mokarawo pernah dilarang oleh Belanda, sebagai upaya menghilangkan pelbagai tradisi dan identitas lokal.
Hanya saja, situasi tersebut tidak menyurutkan semangat masyarakat lokal untuk terus melakukan mokarawo. Walaupun kegiatan itu sempat harus dilakukan di daerah terpencil dan sulit dijangkau kolonial.
Ada dua teknik dasar pembuatannya, yakni karawo manila dengan menyulam kain sesuai motif yang telah ditentukan. Lainnya adalah karawo ikat, mirip cara pembuatan tenun ikat. Teknik pembuatan karawo acap disebut sebagai "merusak" kain lantaran awalnya si perajin harus mencabuti dan mengiris benang pada kain polos berdasarkan luas dan batas bidang yang akan disulam.
Semua jenis kain dapat dipakai untuk media karawo, terutama yang memiliki serat vertikal dan horizontal seperti katun, linen, sifon, sutra, dan lainnya. Semakin halus kain yang dipergunakan, maka tingkat kesulitannya pun akan makin tinggi terutama untuk mengiris dan mengurai benang. Contohnya, kain sutra.
Kehalusan sulaman akan sangat ditentukan oleh kecermatan dan ketajaman si perajin dalam menghitung benang-benang yang akan dicabut dan diiris. Lalu, disesuaikan dengan ukuran motif yang akan disulam.
Selesai menghitung benang, si perajin akan mengiris benang satu per satu dengan sangat teliti. Salah iris sedikit saja, pekerjaan akan dianggap gagal dan menyulam tidak dapat dilakukan.
Jika dilakukan secara benar, akan tercipta ruang-ruang kosong yang nantinya akan diisi dengan benang lainnya. Berikutnya, dalam tahapan menyulam dilakukan dengan cara menelusurkan benang mengikuti jalur benang atau kristik.
Si perajin akan mengisi motif yang sudah ditentukan pada ruang-ruang kosong dan sisanya yang tidak diberi motif akan diikat. Aktivitas itu dilakukan berulang-ulang supaya tercipta motif yang diinginkan.