Pro-Kontra Dampak Kemungkinan Beda Hari Perayaan Idul Fitri

photo author
DNU
- Selasa, 18 April 2023 | 23:40 WIB
Polemik tentang larangan melaksanakan Salat Idulfitri bagi Muhammadiyah di lapangan pada beberapa daerah melibatkan Alissa Wahid dan Nadirsyah Hosen. (Ilustrasi: Sugawa/Lucy Indesky)
Polemik tentang larangan melaksanakan Salat Idulfitri bagi Muhammadiyah di lapangan pada beberapa daerah melibatkan Alissa Wahid dan Nadirsyah Hosen. (Ilustrasi: Sugawa/Lucy Indesky)


Ketikpos.com -- Menteri Agama Yaqut Colil Qaumas menjelasksn bahwa pemerintah selalu menggelar sidang isbat terlebih dahulu sebelum menetapkan awal Ramadan dan awal Syawal tiap tahunnya. Kesepakatan dari hasil sidang isbat itu selalu diumumkan terbuka.

Jika hasil sidang isbat menetapkan Hari Raya Idul Fitri 2023 bertepatan 21 April 2023, maka hasilnya sama dengan penetapan Muhammadiyah.

Seperti lansir dari Sugawa.id, tapi kalau sidang menetapkan Idul Fitri bertepatan 22 April 2023, berarti ada perbedaan.

Menag Yaqut mengimbau kepada seluruh umat Islam untuk menghormati perbedaan tersebut.

Yaqut juga meminta seluruh pemimpin daerah dapat mengabulkan permohonan fasilitas umum untuk penyelenggaraan salat Idul Fitri meskipun pelaksanannya berbeda dengan hasil sidang isbat yang diputuskan Pemerintah

Seperti diketahui, Muhammdiyah Sudah Menetapkan Hari Raya, Pemerintah Baru Per 20 April 2023.

Beredar selebaran di beberapa kota melarang umat Muhammadiyah melaksanakan Shalat Idul Fitri di lapangan. Alasannya, pemerintah daerah setempat hanya akan mengikuti ketetapan Idul Fitri dari pemerintah pusat. Ini memicu debat di kalangan dua tokoh Nahdatul Ulama (NU), Alissa Wahid dan Nadirsyah Hosen. Bagaimana menurut Menteri Agama?

“Setelah Kota Pekalongan, sekarang Sukabumi. Setelah itu mana lagi?” Begitu tulis Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti di Twitter, Senin (17/04). Dia mengunggah selebaran dari Wali Kota Sukabumi yang berisi larangan melaksanakan Shalat Idul Fitri di di Lapangan Merdeka bagi umat Muhammadiyah.

Alasannya Shalat Ied akan dilakukan oleh Pemda Kota Sukabumi mengikuti ketetapan Pemerintah Pusat dalam penentuan 1 Syawal 1444 H.

Kontan postingan itu mengundang perdebatan netizen. Alissa Wahid, salah satu tokoh NU sekaligus putri mendiang Gus Dur, ikut berkomentar.

“Harusnya hal seperti ini tidak terjadi. Adalah hak warga Muhammadiyah, NU, Persis, Aboge dll untuk beribadah pada waktu yang mereka yakini. Semoga pak Menteri @kemendagri dapat segera mengingatkan para kepala daerah. Urusan agama tidak masuk otonomi daerah lho,” protes Allisa Wahid.

Sementara itu tokoh NU lain, Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir, justru setuju dengan surat selebaran tadi. Menurutnya, dalam fiqh, lebaran itu ikut keputusan pemerintah. Secara aturan bermasyarakat, pemerintah nggak boleh melarang yang lebarannya berbeda.

“Tapi yang berbeda juga harus bertenggang rasa. Pakai fasilitas sendiri aja. Jangan pakai fasilitas publik atau milik pemerintah. Gampang kan toleransi itu,” tulisnya.

Karena memicu protes netizen, Gus Nadir menambahkan, “Masih ada yang belum paham soal lebaran boleh berbeda tapi tetap harus bertenggang rasa. Bukan cuma soal lapangan Shalat Ied, tapi juga takbiran dan makan opor ayam. Bertenggang rasa karena masih ada yang lebarannya baru besok. Ini kalau lebarannya beda lho. Tunggu putusan sidang itsbat.”

Kicauan ini disambar oleh Alissa Wahid, “Gus, maaf. Tenggang rasa tidak bisa kita minta kepada orang lain. Tenggang rasa itu urusan kita kepada pihak lain. Alih-alih meminta kawan-kawan yang beridul Fitri tanggal 21 untuk bertenggang rasa kepada yang sesuai dengan pemerintah, kita justru harus meminta diri kita bertenggang rasa kepada mereka.”

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: DNU

Sumber: Sugawa.ID

Tags

Rekomendasi

Terkini

X