Dalam pernyataan sikap yang diteken Forum Alumni PRD dan Pergerakan Demokratik, mereka menyampaikan empat tuntutan utama: Pertama, mendesak dibukanya kembali penyelidikan independen atas penculikan dan penghilangan paksa aktivis serta kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998.
Kedua, merealisasikan rekomendasi secara utuh dan lengkap atas hasil penyelidikan Komnas HAM dan investigasi atau penyelidikan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Baca Juga: DPR Setujui Tambahan Anggaran Kemenag 2025: Fokus pada BOS Madrasah, Gaji ASN, dan Tunjangan Guru
Ketiga, mendesak pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc terkait kejahatan hak asasi manusia (HAM) serta menjamin keadilan transisional yang menyeluruh bagi korban dan keluarga korban.
Keempat, menjamin hak atas pemulihan yang layak dan bermartabat bagi penyintas kekerasan seksual dan keluarga korban penghilangan paksa, termasuk restitusi, rehabilitasi psikososial, dan pengakuan negara.
“Kami juga menyerukan agar tidak terulang lagi praktik kekuasaan represif dengan menggunakan kekuatan militer, serta menjalankan kekuasaan yang anti-demokrasi di era reformasi ini,” tegas Nachung.
Baca Juga: Palembang Bebas Narkoba: Lanjutkan Upaya dari Balai Kota ke Ruang Sekda
Di akhir konferensi pers, Nachung menutup pernyataannya dengan kalimat yang menggema di ruangan kecil itu: “Diam adalah pengkhianatan.”
Di luar, hari mulai gelap. Tapi di dalam ruangan itu, para penyintas dan aktivis tetap menyala. Seperti Wiji Thukul yang hilang entah di mana, namun suaranya masih terdengar lewat puisinya:
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam tanpa alasan, kritik dilarang tanpa dijelaskan, maka hanya satu kata: LAWAN!"****