daerah

Batik yang Tersesat: Cerita Identitas Palembang di Kain Jawa"

Kamis, 6 November 2025 | 19:03 WIB
Di balik nada skeptis pertanyaan tersebut, tersimpan keinginan kuat untuk menelusuri jejak batik Palembang—wastra yang sering disebut ada, tapi tak tampak jejak produksinya di tanah sendiri. (Dok)


Seminar PKD Sumsel Bahas Jejak dan Tantangan Batik Bermotif Palembangan


KetikPos.com, Palembang— Satu pertanyaan sederhana mengemuka dalam sebuah diskusi hangat di Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Sumatera Selatan yang digelar di Taman Budaya Sriwijaya, Jakabaring:
“Benarkah Palembang punya batik?”
Pertanyaan itu mencairkan suasana seminar bertema Keberagaman Batik Palembang di Sumsel yang dihadiri seniman, budayawan, dan pemerhati wastra dari berbagai daerah. Di balik nada skeptis pertanyaan tersebut, tersimpan keinginan kuat untuk menelusuri jejak batik Palembang—wastra yang sering disebut ada, tapi tak tampak jejak produksinya di tanah sendiri.
Batik Bermotif Palembang, tapi Diproduksi di Jawa
Ilham Zhuliansyah, pengrajin songket dan pemerhati wastra Sumsel, mengungkapkan bahwa Palembang memang memiliki batik dengan motif khas lokal, meski ironisnya sebagian besar diproduksi di luar daerah, terutama di Pekalongan dan Cirebon.
“Batik dengan motif Palembang itu nyata adanya. Salah satunya Batik Jefri, diproduksi di Cirebon oleh keluarga Ustad Jufri, yang asalnya dari Palembang,” ujar Ilham.
Menurutnya, batik-batik tersebut menggambarkan identitas Palembang melalui motif bunga, ukiran rumah limas, dan simbol-simbol filosofi Sriwijaya. “Meski dibuat di Jawa, jiwanya tetap Palembang,” tambahnya.
Dari Kain Adat hingga Tanjak Bangsawan
Budayawan Yudhie Sarofie, yang juga menjadi narasumber seminar, menelusuri jejak batik Palembang dari sisi historis. Menurutnya, batik telah dikenal di Palembang sejak awal abad ke-20, saat kain bercorak batik mulai digunakan oleh kalangan bangsawan dan masyarakat kota dalam berbagai upacara adat.
“Para perempuan mengenakannya sebagai busana adat, sementara lelaki menjadikannya tanjak atau pelengkap pakaian resmi,” jelas Yudhie.
Bahkan, sejumlah koleksi batik bermotif Palembang pernah ditemukan di keluarga tua Palembang dan dalam arsip wastra di museum-museum nasional. Para pengrajin batik di Jawa juga mengakui adanya motif ‘Palembangan’, meski pembuatannya tak pernah berakar di bumi Musi.
Masih Perlu Bukti Produksi Lokal
Namun, pandangan itu tak diterima begitu saja. M. Nasir (Ketua Dewan Kesenian Palembang) dan Taufik Wijaya (sastrawan dan budayawan Sumsel) menilai bahwa pengakuan atas batik Palembang memerlukan bukti riset dan sejarah yang kuat.
“Kalau tidak ada bukti produksi, sulit mengatakan Palembang memiliki batik. Barangkali Palembang punya motif, tapi belum punya tradisi membatik,” tegas Taufik.

Diskusi keberagaman batik Palembang di Sumsel di Taman Budaya Palembang. (Dok)

Yudhie sendiri membenarkan bahwa pelatihan pembuatan batik memang pernah dilakukan di beberapa daerah di Sumsel, namun tidak berlanjut menjadi kegiatan rutin.
“Kondisi iklim Palembang yang lembap membuat proses pencelupan, penjemuran, dan penulisan malam menjadi sulit. Karena itu, belum lahir sentra batik lokal yang bertahan,” katanya.
Membangun Batik Palembang dari Nol
Menutup diskusi, Dr. KMS Ari Panji menawarkan solusi konkret. Menurutnya, pemerintah daerah perlu berperan aktif menciptakan ekosistem batik Palembang, dengan menghidupkan pelatihan, pemberdayaan perajin muda, hingga promosi wastra daerah.
“Batik Palembang bisa dimulai dari kemauan. Kita punya identitas visual yang kaya—tinggal menumbuhkan industri dan kebanggaannya,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa langkah ini bukan sekadar melahirkan batik baru, melainkan mengembalikan semangat warisan visual Palembang dalam bentuk yang relevan di masa kini.
Jejak yang Perlu Ditemukan Kembali
Diskusi di PKD Sumsel itu akhirnya tak hanya menyoal keberadaan batik Palembang, tapi juga menyingkap kerinduan: bahwa Palembang, kota yang kaya akan warisan songket dan ukiran, sebenarnya menyimpan potensi besar untuk melahirkan batik yang benar-benar “Palembang” — batik yang dibuat, dihidupi, dan dibanggakan oleh warganya sendiri.
Mungkin, seperti kata Yudhie Sarofie, “Batik Palembang itu ada, hanya saja sedang menunggu untuk ditemukan kembali.”

Tags

Terkini