daerah

Kuntau, Puisi, dan Langkah Sultan Aksi 12.12 Penyelamatan Benteng Kuto Besak Menjelma Perlawanan Budaya di Jalanan dan Kantor Gubernur

Rabu, 17 Desember 2025 | 09:14 WIB
Kuntau, Puisi, dan Langkah Sultan Aksi 12.12 Penyelamatan Benteng Kuto Besak Menjelma Perlawanan Budaya di Jalanan (Dok)


KetikPos.com, Palembang—
Hujan baru saja reda ketika ribuan langkah berkumpul di pelataran Air Mancur Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Langit mendung menggantung rendah di atas Kota Palembang, seolah ikut menyimak apa yang akan terjadi siang itu.
Aksi 12.12 Penyelamatan Benteng Kuto Besak (BKB) bukan sekadar demonstrasi penolakan pembangunan. Ia menjelma menjadi ritual perlawanan budaya, ketika kuntau Palembang dan pembacaan puisi menjadi medium utama menyuarakan kegelisahan atas ancaman terhadap warisan sejarah Kesultanan Palembang Darussalam.
Usai salat Jumat, massa bergerak. Tidak ada teriakan kemarahan yang dominan, tidak pula simbol kekerasan. Yang terdengar justru hentakan kaki pesilat kuntau dan lantunan puisi yang mengalir lirih namun menghunjam.
Di tengah barisan, Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV RM Fauwaz Diradja, SH, MKn, berjalan kaki bersama rakyatnya, memimpin long march dari Masjid Agung menuju Kantor Gubernur Sumatera Selatan.
Kuntau di Jalanan Kota: Bela Diri Menjadi Bela Budaya
Aksi dimulai dengan atraksi kuntau Palembang, seni bela diri tradisional Melayu yang lahir dari sejarah panjang pertahanan diri dan harga diri masyarakat Palembang.
Para pendekar tampil dengan pakaian hitam sederhana. Di beberapa titik sepanjang rute long march—dari pelataran masjid, Jalan Jenderal Sudirman, hingga mendekati Kantor Gubernur—mereka berhenti, membentuk lingkaran, lalu memulai jurus.
Gerakan mereka tegas dan terukur. Setiap hentakan kaki ke aspal basah seolah menjadi simbol bahwa tanah ini memiliki ingatan. Ayunan tangan yang cepat namun terkendali menegaskan pesan bahwa budaya tidak pernah pasif ketika warisan leluhur terancam.
Kuntau tidak dipertontonkan sebagai hiburan. Ia hadir sebagai bahasa perlawanan, mengingatkan bahwa Benteng Kuto Besak dahulu bukan hanya pusat pemerintahan dan kraton Sultan, tetapi juga benteng pertahanan yang dibangun untuk menjaga martabat Palembang dari ancaman luar.
Warga yang menyaksikan berhenti sejenak. Pengendara memperlambat laju kendaraan. Banyak yang merekam, sebagian ikut bergabung. Di tengah kota modern yang dipenuhi beton dan kendaraan, kuntau mengembalikan Palembang pada akar sejarahnya.
Puisi: Suara Nurani Sejarah
Di sela-sela atraksi kuntau, pembacaan puisi menggema. Para penyair, budayawan, dan seniman Palembang tampil membacakan karya-karya yang lahir dari kegelisahan sejarah.
Puisi-puisi itu mengisahkan kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam, luka kolonialisme, hingga kekhawatiran atas pembangunan gedung bertingkat di kawasan inti Benteng Kuto Besak.
“Benteng ini bukan batu bisu,” ucap seorang penyair dalam bait puisinya.
“Ia menyimpan ingatan, darah, dan doa para leluhur.”
Tidak ada panggung megah. Tidak ada tata suara berlebihan. Namun justru dalam kesederhanaan itu, puisi terasa lebih jujur dan menggetarkan. Kata-kata menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, mengingatkan bahwa pembangunan tanpa ingatan sejarah hanya akan melahirkan kehampaan.
Sultan Berjalan, Budaya Bicara
Di tengah atraksi kuntau dan pembacaan puisi, kehadiran Sultan Mahmud Badaruddin IV menjadi pusat makna aksi. Dengan busana adat Melayu Palembang berwarna hitam dan tanjak sebagai simbol kehormatan adat, Sang Sultan berjalan tanpa pengawalan berlapis, tanpa jarak dengan rakyatnya.
Jarak tempuh sekitar 2,5 hingga 3 kilometer dilalui dengan langkah mantap. Ia tidak berorasi panjang, namun kehadirannya berbicara lebih lantang daripada pengeras suara mana pun.
Sesekali Sultan berhenti, menyaksikan atraksi kuntau, mendengarkan puisi, dan menyapa peserta aksi—zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, sejarawan, akademisi, aktivis budaya, hingga masyarakat umum.
Langkah kaki Sang Sultan seolah menghidupkan kembali falsafah kepemimpinan Melayu:
“Raja adalah payung rakyat, dan rakyat adalah tanah tempat raja berpijak.”

Aksi damai tolak Perusakan BKB (Dok)

Benteng Kuto Besak: Simbol yang Terancam
Aksi ini digelar sebagai respons atas pembangunan gedung bertingkat pengembangan RS dr AK Gani yang berada di kawasan inti Benteng Kuto Besak.
BKB bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah kraton Kesultanan Palembang Darussalam, dibangun pada 1780 oleh Sultan Muhammad Bahauddin, ayah Sultan Mahmud Badaruddin II, saat Palembang berada di puncak kejayaan.
Benteng ini merupakan satu-satunya benteng di Nusantara yang dibangun oleh pribumi, bukan oleh kolonial. Ia pernah menjadi pusat pemerintahan, istana Sultan, sekaligus benteng pertahanan dalam peperangan besar tahun 1812, 1819, dan 1821.
Saat ini, BKB telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional melalui SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KM.09/PW.007/MKP/2004 dan tercatat sebagai Warisan Budaya Bernilai Pertahanan oleh Kementerian Pertahanan RI.
Pernyataan Tegas Sang Sultan
Di hadapan massa, Sultan Mahmud Badaruddin IV kembali menegaskan sikapnya.
“Benteng Kuto Besak adalah warisan sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Ini bukan ruang bisnis, bukan pula kawasan yang bisa dibangun tanpa kajian sejarah dan budaya,” tegasnya.
Ia menyayangkan pembangunan dilakukan tanpa koordinasi dengan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan pihak kompeten lainnya.
“Kami meminta pembangunan gedung bertingkat itu dihentikan. Jika ingin mengembangkan rumah sakit, carilah lokasi lain yang tidak mengorbankan cagar budaya.”
Sultan juga mendesak agar BKB dibuka dan difungsikan sebagai ruang edukasi, ruang budaya, dan ruang identitas, bukan kawasan tertutup yang kehilangan ruh sejarah.
Budayawan dan Akademisi: Ini Bukan Anti Pembangunan
Budayawan Palembang Vebri Al Lintani menilai pembangunan gedung di zona inti BKB melanggar UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya serta Perda Kota Palembang No. 11 Tahun 2020.
Koordinator aksi RM Genta Laksana menegaskan bahwa penolakan ini bukan anti pembangunan.
“Pengembangan RS AK Gani adalah hak Kesdam II/Sriwijaya, tapi tidak seharusnya dilakukan di kawasan BKB. Lebih baik dana digunakan untuk membeli lahan baru.”
Aksi Budaya, Bukan Amarah
Aksi 12.12 ditutup di depan Kantor Gubernur Sumatera Selatan dengan pembacaan puisi penutup dan atraksi kuntau terakhir. Tidak ada kericuhan. Tidak ada provokasi. Yang tersisa adalah kesunyian reflektif di tengah hiruk pikuk kota.
Hari itu, Palembang tidak hanya menyaksikan demonstrasi. Palembang menyaksikan budaya turun ke jalan, menyampaikan pesan dengan cara yang bermartabat, santun, dan berakar pada identitas.
Langkah kaki Sultan, jurus kuntau, dan bait-bait puisi menjadi satu narasi utuh:
bahwa warisan leluhur tidak bisa ditukar dengan beton, dan bahwa menjaga sejarah adalah tanggung jawab bersama.

Tags

Terkini