Martir Itu Bernama Affan

photo author
- Sabtu, 30 Agustus 2025 | 08:23 WIB
Ilustrasi pengemudi Ojol, Affan Kurniawan, saat tewas terlindas Rantis milik Brimob saat aksi unjuk rasa di Jakarta yang berlangsung hingga Kamis malam (28/8/2025).
Ilustrasi pengemudi Ojol, Affan Kurniawan, saat tewas terlindas Rantis milik Brimob saat aksi unjuk rasa di Jakarta yang berlangsung hingga Kamis malam (28/8/2025).

KM 50 (2020), pembunuhan di jalan tol yang masih menyisakan misteri.

Kanjuruhan 2022, di mana gas air mata aparat membunuh lebih dari 130 nyawa.

Kini, 2025, pola itu kembali. Rantis melaju membabi buta, massa dipukul mundur dengan gaya militeristik, rakyat kecil jadi korban. Negara seolah tak pernah belajar: alih-alih merangkul aspirasi, justru membungkam dengan kekerasan.

Ojol: Wajah Rakyat yang Terpinggirkan

Affan bukan sekadar korban, ia representasi jutaan pengemudi ojol. Mereka adalah wajah nyata rakyat kecil yang hidup di era kapitalisme digital: bekerja panjang jam, tanpa jaminan kerja, di bawah dominasi aplikasi besar.

Bagi mereka, protes bukan pilihan mewah, melainkan kebutuhan. Saat tarif semakin ditekan, biaya hidup melambung, dan perlindungan hukum nyaris tak ada, jalanan menjadi ruang terakhir untuk bersuara.

Kematian Affan bisa menjadi titik balik. Solidaritas antar-ojol yang selama ini sebatas jaringan kerja bisa bertransformasi menjadi kekuatan politik. Dari sekadar protes tarif, bisa menjelma menjadi gerakan sosial: Ojol Insurrection.

Dari Ojol ke Gerakan Rakyat

Sejarah menunjukkan, martir selalu punya daya ledak sosial. Munir (2004) memicu gerakan hak asasi. Tragedi Trisakti (1998) melahirkan reformasi. Bahkan di luar negeri, Mohamed Bouazizi — pedagang kaki lima Tunisia yang membakar diri pada 2010 — melahirkan Arab Spring.

Affan bisa menjadi “Bouazizi Indonesia.” Dari tubuh ojol yang terhimpit rantis, bisa lahir gelombang solidaritas lintas kelas: buruh, mahasiswa, pelajar, hingga masyarakat sipil. Semua punya alasan marah, dan kematian Affan bisa menjadi pemicu.

Krisis Pemerintahan Prabowo

Tragedi ini juga menghantam legitimasi pemerintahan Prabowo. Demonstrasi yang dimulai sejak 25 Agustus hanya menuntut keadilan ekonomi. Namun setelah Affan tewas, tuntutannya berubah: dari kebijakan, menjadi persoalan kekuasaan.

Apakah aparat memang sengaja membungkam kritik? Ataukah ini sekadar arogansi di lapangan? Apa pun jawabannya, publik kini menilai pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Represi bukan lagi solusi, melainkan bensin yang menyulut api protes.

Kapolri di Persimpangan

Sorotan tajam pun mengarah pada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Publik melihat Polri sudah terlalu sering gagal: kriminalisasi aktivis, standar ganda hukum, tragedi Kanjuruhan, hingga kini kematian Affan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Admin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X