Memang, turunnya Al-Qur'an 15 abad yang lalu terjadi pada malam Lailatul Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Qur'an ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, "Tanazzal al-mala'ikat wa al-ruh," kata "Tanazzal" adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
Selanjutnya, apakah bila ia hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian.
Namun, dugaan itu keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain, ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Adapun seandainya ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailatul Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja.
Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Lailatul Qadr.
Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, karena ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya.
Untuk itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan sekaligus mempraktikkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, sebagaimana penejelasan dalam hadis berikut:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya,
Artinya: "Dari Siti ‘Aisyah radhiallahu anha berkata: apabila telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyingsingkan lengan bajunya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya" (HR. al-Bukhari).
Dari hadist di atas, diketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat menyambut sepuluh hari akhir Ramadhan, beliau terjaga semalaman penuh dan mengajak keluarganya untuk i’tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci, tempat segala aktifitas kebajikan bermula. Di masjid seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya. Juga, di masjid seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman.
Itulah sebabnya ketika melakukan i'tikaf, seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Qur'an, atau bahkan bacaanbacaan lain yang dapat memperkaya iman dan ketakwaan. Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailatul Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadr--dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang.
Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian.
Pada malam Lailatul Qadr malaikat turun menemui orang-orang pilihan yang menyiapkan diri untuk menyambutnya. Turunnya malaikat pada malam Lailatul Qadr, berarti bahwa orang tersebut akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan rasa aman dan damai yang tidak terbatas sampai fajar malam Lailatul Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.
Untuk itu, sebagai upaya untuk memanfaatkan peluang dalam menggapai keutamaan pada bulan Ramadhan ini, mari kita persiapkan diri dengan mulai membersihkan diri dan jiwa agar menjadi pantas untuk menerima kedatangan tamu agung Lailatul Qadr.
Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.