Bahrul Ilmi Yakup, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi,
Usai pemungutan suara dan muncul angka hitung cepat, merebak soal sangkaan kecurangan Pilpres.
Sayangnya, sangkaan kecurangan ini sering kali absurd, tidak berdasar menurut konstitusi dan hukum.
Konstitusi dan hukum, telah menetapkan wujud bukti penentu sebagai ukuran adanya kecurangan pilpres pada tahap penghitungan suara yaitu:
(1). Adanya surat/bukti keberatan dari saksi akan adanya cacat rekapitulasi suara di TPS.
(2). Adanya Data Hasil Rekap di TPS berupa C-1.
(3). Adanya saksi yang mengajuka keberatan.
Tanpa adanya kedua bukti tersebut, sangkaan kecurangan pada tahap penghitungan suara TPS sejatinya tidak berdasarkan data dan fakta.
Penting digarisbawahi memastikan bahwa bukti-bukti yang jelas dan berdasarkan pada konstitusi serta hukum menjadi dasar utama untuk mengajukan sangkaan kecurangan dalam proses pemilihan umum, khususnya pada tahap penghitungan suara di TPS.
Untuk memastikan adanya kecurangan pada tahap penghitungan suara TPS, terdapat dua unsur kunci yang harus ada, yaitu adanya surat/bukti keberatan dari saksi mengenai cacat rekapitulasi suara di TPS dan adanya data hasil rekapitulasi di TPS berupa C-1.
Tanpa adanya kedua bukti tersebut, sangkaan kecurangan pada tahap tersebut sejatinya tidak berdasar menurut konstitusi dan hukum yang berlaku.
Namun, jika ada indikasi pelanggaran Terstruktur, Sistematik, dan Masif (TSM), bukti penentu dapat berupa kebijakan tertentu dari KPU atau pejabat pemerintah yang memengaruhi perolehan suara secara signifikan.
Meskipun demikian, bukti elektronik seperti data Tik Tok, foto WhatsApp, atau analisis tambahan dianggap sebagai bukti yang tidak menentukan dan tidak dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam kasus Pilpres 2019, upaya dari paslon Prabowo-Sandi yang mencoba menyorong bukti berupa analisis dari pakar Malaysia tidak diterima oleh MK, menunjukkan bahwa bukti harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh konstitusi dan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, tanpa bukti yang jelas dan sah, penting bagi paslon, partai politik, dan elemen masyarakat madani untuk menenangkan situasi dan mencegah terjadinya emosi yang kontraproduktif di masyarakat.