Arif Ardiansyah (Dosen Magister Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka Palembang)
Di tengah hiruk pikuk informasi yang tak henti, kita sering mengira media hanyalah cermin yang memantulkan apa adanya. Namun, anggapan itu jauh dari kebenaran. Sesungguhnya, media massa, dari surat kabar hingga platform digital paling mutakhir, adalah arsitek realitas, sebuah kekuatan simbolik yang tak hanya menyajikan fakta, tetapi juga merangkai, membentuk, dan bahkan mendefinisikan cara kita memahami dunia di sekitar kita. Inilah jantung dari konsep konstruksi realitas, sebuah gagasan yang diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam karya original mereka, The Social Construction of Reality.
Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial bukanlah entitas statis yang berdiri sendiri, melainkan sebuah konstruksi dinamis. Ia terbentuk dari jalinan interaksi tak berkesudahan antarindividu dan institusi sosial, di mana simbol dan bahasa menjadi benang-benangnya. Dalam lanskap modern yang kompleks, media muncul sebagai perantara ulung dalam proses pertukaran simbolik ini. Ia bukan sekadar saluran pasif; media adalah pabrik makna yang beroperasi tanpa henti, menyortir, menafsirkan, dan merepresentasikan apa yang kemudian kita terima sebagai "kenyataan."
Bagaimana media menjalankan perannya sebagai pembentuk realitas? Ini bukan sihir, melainkan serangkaian mekanisme cerdas yang beroperasi di balik layar. Mulai dari pemilihan isu yang akan diangkat ke permukaan, hingga penekanan narasi tertentu yang dianggap relevan. Media juga mahir dalam penggunaan bahasa yang sugestif, yang mampu menuntun pikiran audiens pada kesimpulan tertentu. Tak ketinggalan, struktur visual dan audio yang ditampilkan turut ambil bagian dalam mengarahkan persepsi khalayak.
Apa yang sampai ke mata dan telinga kita bukanlah "fakta mentah." Ia adalah fakta yang telah melewati proses seleksi, pemrosesan, dan pengemasan yang cermat, disesuaikan dengan logika pemberitaan, dan bahkan tuntutan pasar. Dalam proses ini, netralitas kadang hanyalah mitos. Media selalu membawa perspektifnya sendiri, sebuah lensa yang dapat memperkuat pandangan yang ada, menegaskan narasi yang sedang berkembang, atau bahkan menggantikan sepenuhnya cara publik memandang suatu peristiwa atau figur.
Ambil contoh ranah politik. Media memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk citra seorang pemimpin. Melalui teknik framing, media bisa menyoroti satu sisi kepribadian atau tindakan seorang politisi, sementara sisi lainnya sengaja diabaikan. Seorang politisi yang amengusung kebijakan progresif, misalnya, bisa saja digambarkan sebagai sosok kontroversial atau tidak stabil jika frame yang dipakai media adalah kericuhan atau ketidaksepakatan. Sebaliknya, figur dengan jejak rekam problematik bisa menjelma bersih dan karismatik berkat konstruksi visual dan retorika yang terencana.
Lebih jauh lagi, media turut berperan aktif dalam membentuk representasi kelompok sosial. Sayangnya, representasi ini seringkali jauh dari netral. Acapkali, ia terbangun di atas fondasi stereotip atau agenda ideologis yang tersembunyi. Kelompok minoritas, misalnya, tak jarang ditampilkan dalam bingkai marginalisasi, kekerasan, atau keterbelakangan. Dalam jangka panjang, representasi yang terus-menerus disuguhkan ini menancapkan pola pikir kolektif dalam masyarakat, menciptakan ketimpangan simbolik yang berujung pada diskriminasi. Konstruksi ini bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi juga tentang bagaimana citra visual terus-menerus direproduksi dan disuguhkan kepada publik.
Selain itu, media memiliki otoritas untuk menentukan apa yang dianggap penting dan layak dibicarakan melalui mekanisme agenda setting. Dengan menempatkan isu tertentu di halaman utama atau terus-menerus mengulang pemberitaan yang sama, media secara efektif membentuk hierarki makna yang kemudian memengaruhi fokus dan perhatian publik. Dalam dunia pencitraan, ini berarti media memegang kendali atas siapa yang layak menjadi sorotan utama, bagaimana ia dikenali, dan nilai-nilai apa yang akan diasosiasikan dengannya. Mustahil sebuah upaya pencitraan berhasil tanpa dukungan atau intervensi media sebagai pemandu utama wacana publik.
Tentu saja, peran media sebagai arsitek realitas semakin kompleks di era digital yang kita hidupi sekarang. Masyarakat tak lagi hanya menjadi konsumen pasif, melainkan juga produsen citra aktif melalui media sosial dan beragam platform daring lainnya. Namun, kendati distribusi informasi kini lebih terdesentralisasi, media arus utama tetap mempertahankan dominasinya dalam menetapkan legitimasi dan otoritas makna. Bahkan di dalam ekosistem digital yang tampak bebas ini, algoritma dan sistem kurasi konten berfungsi layaknya penjaga gerbang (gatekeeper) yang menentukan sejauh mana citra tersebut terpampang dan terperhatikan publik.
Pada akhirnya, media adalah pemain kunci dalam lanskap pencitraan. Kemampuannya membentuk kerangka berpikir publik, mengarahkan makna sosial, dan menciptakan narasi dominan tentang individu maupun kelompok adalah sesuatu yang tak bisa diremehkan. Melalui praktik konstruksi realitasnya, media tidak sekadar melaporkan dunia; ia turut serta dalam menciptakannya. Oleh karena itu, bagi kita, khususnya para mahasiswa komunikasi, menjadi krusial untuk bersikap kritis terhadap setiap representasi yang disajikan media. Kita harus menyadari bahwa citra yang beredar luas di ruang publik adalah hasil dari sebuah konstruksi yang sarat nilai, kepentingan, dan tentu saja, kekuasaan.