Oleh Dr. Arif Ardiansyah (dosen)
Di era digital ini, medan pertarungan politik tak lagi terbatas pada jalanan atau lapangan terbuka, tetapi juga telah meluas ke layar ponsel dan komputer. Media sosial menjadi arena baru yang berpengaruh besar dalam menentukan arah kemenangan, termasuk dalam kontestasi Pilkada Sumatera Selatan 2024. Tiga pasangan calon gubernur yang sudah ditetapkan—Herman Deru-Cik Ujang, Edi Santana Putra-Rizky, dan Mawardi-Anita—bersaing tidak hanya di lapangan kampanye, tetapi juga di dunia maya. Melalui platform seperti Facebook, Instagram, hingga TikTok, mereka berusaha memenangkan hati para pemilih. Di sinilah strategi komunikasi digital yang cerdas dan tepat sasaran menjadi kunci.
Layar ponsel masyarakat Sumatera Selatan kini menjadi ladang subur untuk menyampaikan ide, program, dan visi para calon. Namun, hadir di media sosial saja tidak cukup. Memilih platform yang tepat serta menggunakan cara komunikasi yang manusiawi dan relevan dengan target audiens sangat penting untuk memastikan pesan yang disampaikan tidak hanya sekadar didengar, tetapi juga dirasakan oleh pemilih.
Mengapa media sosial menjadi begitu penting dalam Pilkada? Salah satu alasannya adalah perubahan perilaku pemilih yang beralih ke dunia digital. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat, termasuk di Sumatera Selatan. Generasi milenial dan Gen Z, yang merupakan segmen besar dari pemilih, sangat aktif di media sosial (https://www.ketikpos.com/daerah/95912989694/gurihnya-suara-anak-muda-dalam-pilkada-sumsel-dan-strategi-merebutnya) . Dengan demikian, pasangan calon yang ingin berhasil harus mampu memaksimalkan kehadiran mereka di platform digital yang relevan dengan pemilih mereka.
Bayangkan seorang warga Sumatera Selatan di pelosok kabupaten. Dulu, mungkin ia hanya tahu tentang calon pemimpinnya dari poster, baliho, atau kampanye tatap muka. Namun sekarang, berkat smartphone di tangannya, ia bisa mengikuti langkah dan pesan calon secara langsung melalui media sosial. Inilah yang membuat media sosial begitu krusial. Tidak hanya sebagai alat komunikasi satu arah, media sosial juga membuka ruang dialog antara calon pemimpin dan masyarakatnya.
Namun, penting untuk dicatat bahwa penggunaan media sosial tidak hanya soal menyebarkan informasi. Para calon gubernur yang cerdas harus mampu memilih platform yang sesuai dengan karakteristik pemilihnya. Setiap platform memiliki gaya penggunaannya masing-masing, dan memahami perbedaan ini akan membantu calon dan tim kampanye menyusun strategi komunikasi yang lebih efektif.
Misalnya, Facebook masih menjadi platform kuat di Sumatera Selatan. Penggunanya mencakup berbagai usia, mulai dari pemilih muda hingga dewasa. Dengan fitur interaksi langsung melalui komentar atau pesan, Facebook menyediakan peluang bagi calon untuk lebih dekat dengan pemilih. Herman Deru-Cik Ujang, misalnya, dapat menggunakan platform ini untuk berinteraksi dengan masyarakat pedesaan dan menampilkan keberhasilan program-program yang relevan dengan kebutuhan mereka.
Instagram, di sisi lain, lebih menarik bagi generasi milenial dan Gen Z yang aktif dalam visualisasi. Edi Santana Putra-Rizky, misalnya, bisa memanfaatkan kekuatan foto dan video di Instagram untuk memperlihatkan sisi humanis dan karismatik mereka. Dengan fitur seperti Instagram Stories atau Reels, mereka dapat berbagi momen kampanye, kegiatan sosial, atau interaksi spontan dengan masyarakat. Konten yang personal seperti ini dapat membuat pemilih merasa lebih dekat dengan calon.
TikTok, yang semakin populer terutama di kalangan anak muda, menawarkan kesempatan unik untuk membuat konten kampanye yang menghibur dan mudah dibagikan. Mawardi-Anita, misalnya, bisa menciptakan konten video pendek yang menyenangkan, lucu, dan viral. TikTok tidak menuntut formalitas; justru, kejujuran dan spontanitas sering kali lebih diapresiasi. Ini menjadi kesempatan bagi tim kampanye untuk menunjukkan sisi lain dari pasangan calon, yang mungkin tidak terlihat di platform yang lebih formal.
Sementara itu, Twitter adalah platform yang cocok untuk diskusi politik dan isu-isu sosial. Kontestan dapat memanfaatkan Twitter untuk berpartisipasi dalam diskusi tentang isu daerah atau mengklarifikasi rumor yang beredar. Karena lebih serius dan terstruktur, platform ini menjadi tempat yang ideal untuk menyampaikan pesan-pesan kebijakan.
Selain itu, YouTube adalah platform yang menawarkan kesempatan untuk menyampaikan pesan secara lebih mendalam. Dengan video panjang seperti diskusi atau wawancara, calon dapat menjelaskan program mereka dengan detail.Semua calon kepala daerah, misalnya, dapat membuat video tentang visi mereka terkait pengembangan infrastruktur atau program kesehatan di Sumatera Selatan. Dengan cara ini, pemilih dapat memperoleh gambaran yang lebih konkret tentang apa yang akan mereka lakukan jika terpilih.
Meskipun media sosial memungkinkan promosi dalam bentuk iklan berbayar, calon yang cerdas harus memandang media sosial sebagai ruang interaksi yang lebih dalam. Pemilih saat ini ingin merasa didengar dan dilibatkan dalam proses. Kampanye yang hanya satu arah, berupa pesan-pesan formal, tidak akan seefektif interaksi dua arah yang personal.
Misalnya, seorang pemilih mungkin akan merasa lebih terhubung ketika calon gubernur atau timnya merespons komentar mereka di Instagram, atau menjawab pertanyaan di Twitter. Interaksi kecil seperti ini dapat membangun kedekatan emosional yang kuat antara calon dan pemilih. Di Pilkada Sumatera Selatan, di mana pemilih berasal dari berbagai latar belakang, kemampuan calon untuk beradaptasi dengan gaya komunikasi yang sesuai di setiap platform media sosial akan menjadi penentu kesuksesan.
Namun, meskipun media sosial menjadi senjata utama dalam kampanye politik, kunci kemenangan tidak hanya terletak di layar. Layaknya permainan video game, menang dalam Pilkada tidak cukup hanya dengan satu 'senjata.' Media sosial memang merupakan 'pedang' yang tajam untuk membangun kepercayaan dan kedekatan dengan pemilih. Namun, senjata lain yang tak kalah penting adalah logistik alias “sen”.