opini-tajuk

Sainstisasi Tradisi Serasan Sekundang: Bagaimana Wujudnya?

DNU
Kamis, 10 Juli 2025 | 05:10 WIB
Dr M Sawaluddin MA, dosen UIN Raden Fatah Palembang (dok)


Oleh

Dr. Mohammad Syawaludin. MA
Dosen pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang

Artikel ini tidak untuk menilai atau mendudukan sesuatu dalam dimensi baik atau buruk, tetapi hanya sebuah ekspresi untuk memotret keberlanjutan falsafah lokal. Sainstisasi tradisi adalah proses mengkaji, mendokumentasikan, dan menganalisis nilai, praktik, dan simbol dalam tradisi budaya secara sistematis menggunakan pendekatan keilmuan—baik dari sudut sosiologi, antropologi, etnografi, ilmu politik, pendidikan, hingga filsafat dan teologi. Tujuannya adalah agar tradisi tidak hanya hidup secara turun-temurun, tetapi juga dapat yakni dibuktikan kontribusinya terhadap masyarakat modern, diintegrasikan dalam kebijakan publik, pendidikan, dan pembangunan, dibahas dalam ruang akademik sebagai bagian dari kearifan lokal yang rasional dan kontekstual.

Dkolektif

Secara konseptual, Serasan Sekundang adalah ekspresi budaya lokal yang menekankan pentingnya hidup dalam keharmonisan, kebersamaan, dan persaudaraan, serta mencerminkan sistem nilai yang tidak hanya hidup dalam tataran simbolik, tetapi juga membentuk pola pikir, perilaku, dan identitas sosial masyarakat Muara Enim.

Bagi masyarakat asli atau pribumi Muara Enim, Serasan Sekundang tidak hanya dipahami sebagai semboyan daerah, melainkan sebagai jati diri dan pegangan hidup yang diwariskan secara turun-temurun. Makna yang dikandungnya bukan hanya normatif, tetapi juga menyangkut kehormatan keluarga, harga diri komunal, dan kewajiban moral untuk menjaga keseimbangan sosial dalam masyarakat.

Serasan Sekundang menjadi pengikat antargenerasi dan antarkelompok, terutama dalam menyelesaikan konflik secara kekeluargaan, memperkuat musyawarah dalam pengambilan keputusan, serta menjaga nilai-nilai gotong royong, tenggang rasa, dan rasa malu sebagai kontrol sosial.

Dari dimensi sosial, falsafah ini memainkan peran sentral dalam menjaga kohesi masyarakat multikultural. Di tengah keberagaman suku dan budaya—seperti Melayu, Komering, Jawa, Batak, dan Sunda—Serasan Sekundang menjadi payung nilai yang menyatukan masyarakat dalam semangat saling menghargai dan bekerja sama. Tradisi gotong royong, musyawarah desa, kerja bakti membangun masjid, hingga partisipasi kolektif dalam hajatan dan musibah adalah bukti konkret nilai-nilai ini hidup dan dijalankan. Di tengah arus individualisme modern, Serasan Sekundang menjadi kekuatan budaya yang menjaga masyarakat tetap utuh, akrab, dan tangguh secara sosial.

Dalam aspek politik kebudayaan, Serasan Sekundang telah diangkat sebagai semboyan resmi Kabupaten Muara Enim, sekaligus dijadikan sebagai filosofi pembangunan. Pemerintah memosisikannya sebagai instrumen pemersatu masyarakat sekaligus sebagai legitimasi moral atas arah kebijakan berbasis kearifan lokal. Nilai-nilai kolektif yang terkandung di dalamnya, seperti partisipasi, musyawarah, dan tanggung jawab sosial, digunakan untuk menguatkan model pembangunan partisipatif.

Dengan demikian, Serasan Sekundang bukan hanya warisan budaya, tetapi telah mengalami transformasi fungsional dalam konteks tata kelola pemerintahan dan relasi kekuasaan yang berakar pada nilai-nilai lokal.

Dari perspektif keagamaan, Serasan Sekundang tidak dapat dilepaskan dari karakteristik budaya Melayu-Islami. Tradisi masyarakat Muara Enim menunjukkan bagaimana nilai-nilai adat tidak bertentangan dengan Islam, melainkan saling melengkapi.

Prinsip seperti "adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah" menjadi dasar relasi harmonis antara norma adat dan norma syariat. Kegiatan-kegiatan seperti pengajian bersama, gotong royong membersihkan masjid, membantu fakir miskin saat Ramadan, dan mendamaikan pertikaian keluarga menunjukkan integrasi antara nilai ukhuwah, ta’awun, dan musyawarah dalam bingkai Serasan Sekundang.

Nilai-nilai ini telah membentuk Islam lokal yang berakar pada budaya dan mendorong umat untuk hidup beragama secara sosial, santun, dan kontekstual.

Dalam era globalisasi dan transformasi sosial, penting untuk membawa falsafah-falsafah lokal seperti Serasan Sekundang ke dalam ranah ilmiah, melalui proses yang disebut sainstisasi tradisi. Sainstisasi berarti menjadikan nilai dan praktik tradisional sebagai objek kajian ilmiah, dengan pendekatan metodologis yang dapat diuji, dijelaskan, dan dikembangkan.

Proses ini menjadikan Serasan Sekundang tidak hanya sebagai simbol budaya, tetapi sebagai sumber pengetahuan lokal (local wisdom) yang memiliki kontribusi nyata bagi pengembangan ilmu sosial, pendidikan karakter, kebijakan publik, dan keagamaan kontekstual.

Halaman:

Tags

Terkini

Media: Arsitek Realitas di Era Digital

Rabu, 26 November 2025 | 08:12 WIB

Menjaga Wibawa Pendidikan dari Kriminalisasi Pendidik

Jumat, 24 Oktober 2025 | 14:09 WIB

Pelangi Beringin Lubai II: SIMBOLIS HUBUNGAN KEKERABATAN

Selasa, 23 September 2025 | 07:02 WIB

Pelangi Beringin Lubai dalam Kenangan I: Budaya Ngule

Senin, 22 September 2025 | 19:12 WIB

Rusuh: Rakyat Selalu Dipersalahkan, Kenapa?

Jumat, 5 September 2025 | 17:48 WIB

BEDAH ALA KRITIKUS SASTRA

Jumat, 29 Agustus 2025 | 22:28 WIB

BENDERA PUTIH TLAH DIKIBARKAN

Senin, 25 Agustus 2025 | 16:11 WIB