Oleh: Widodo,SH.
Praktisi Hukum
Gelombang aksi mahasiswa yang membawa tuntutan 17+8 kembali mengingatkan kita pada peran historis mahasiswa sebagai agent of change sekaligus moral force bangsa. Tuntutan tersebut lahir dari kegelisahan kolektif terhadap arah kebijakan negara yang dinilai semakin menjauh dari cita-cita keadilan sosial.
Dalam perspektif hukum dan demokrasi, ekspresi mahasiswa bukan sekadar fenomena jalanan, melainkan artikulasi konstitusional yang dijamin Pasal 28E UUD 1945. Oleh sebab itu, tuntutan 17+8 harus diposisikan sebagai instrumen koreksi sosial, bukan sebagai ancaman terhadap stabilitas politik.
Jika ditelaah, 17+8 tuntutan mahasiswa memuat pokok-pokok isu strategis yang saling berkelindan, antara lain:
1. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.Kritik terhadap lemahnya independensi lembaga penegak hukum dan praktik mafia hukum.
2. Regulasi bermasalah,Penolakan terhadap undang-undang yang dianggap menguntungkan oligarki dan merugikan rakyat, misalnya dalam bidang ketenagakerjaan atau pengelolaan sumber daya alam.
3. Perlindungan hak rakyat kecil.Seruan agar negara berpihak pada buruh, petani, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya.
4. Isu lingkungan dan keberlanjutan. Desakan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan yang berpotensi merusak ekosistem dan mengancam hak generasi mendatang.
5. Keadilan sosial dan demokrasi substantif.Dorongan agar negara tidak hanya formalistik dalam menjalankan demokrasi, melainkan benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.
Dari sudut pandang akademik hukum, tuntutan ini sejalan dengan cita hukum (rechtsidee) bangsa: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Meski substansinya legitimate, tuntutan mahasiswa kerap dianggap abstrak oleh kalangan birokrasi. Di sinilah tantangan intelektualnya: bagaimana mahasiswa mengemas aspirasi ke dalam bentuk policy paper, legal draft, atau rekomendasi kebijakan yang konkret. Dengan demikian, tuntutan tidak berhenti sebagai slogan, melainkan masuk ke ruang legislasi dan implementasi hukum.
Di sisi lain, negara sering merespons aksi mahasiswa dengan pendekatan keamanan. Padahal, pendekatan represif bertentangan dengan prinsip negara hukum (rule of law) dan hanya akan menambah ketegangan sosial. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk membuka dialog partisipatif.
1. Dialog Institusional: Pemerintah dan DPR harus menyediakan forum resmi untuk menampung dan menindaklanjuti tuntutan 17+8.
2. Judicial Review: Regulasi yang dinilai bermasalah dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi, dengan dukungan advokasi dari kalangan akademisi dan praktisi hukum.
3. Partisipasi Publik dalam Legislasi: Setiap proses pembentukan undang-undang wajib mengedepankan asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 13 Tahun 2022.
4. Penguatan Kontrol Sosial: Media massa, organisasi masyarakat sipil, dan kampus perlu bersinergi mengawal substansi tuntutan mahasiswa agar tidak meredup dalam hiruk-pikuk politik sesaat.
Tuntutan mahasiswa 17+8 pada akhirnya adalah cermin nurani rakyat. Ia bukan sekadar suara generasi muda, tetapi juga refleksi atas keresahan masyarakat luas. Negara hukum yang sehat seharusnya merespons suara tersebut dengan kebijakan yang adil, transparan, dan partisipatif.
Mengabaikan tuntutan mahasiswa berarti mengabaikan denyut demokrasi itu sendiri. Sebaliknya, merangkul mereka melalui dialog intelektual dan kebijakan yang pro-rakyat adalah jalan terbaik untuk menjaga legitimasi hukum dan demokrasi di Indonesia.