politik-eksbis

Satu Guru, Tiga Jalan: Saat Soekarno, Semaun, dan Kartosuwiryo Membentuk Arah Bangsa

Minggu, 7 September 2025 | 07:18 WIB
Satu Guru, Tiga Jalan: Saat Soekarno, Semaun, dan Kartosuwiryo Membentuk Arah Bangsa (dok)

Kita sering mendengar istilah, “Guru yang sama bisa melahirkan murid yang berbeda-beda.” Dalam sejarah Indonesia, pepatah ini benar-benar terbukti.

Di rumah HOS Tjokroaminoto, sang pemimpin Sarekat Islam, lahir tiga murid yang kelak jadi tokoh besar dengan ideologi berbeda: Soekarno, Semaun, dan Kartosuwiryo.

Mereka sama-sama anti-penjajahan, sama-sama ingin Indonesia merdeka. Tapi jalannya berbeda.


Soekarno: Nasionalisme dan Pancasila

Soekarno adalah murid yang paling bersinar. Dari Tjokroaminoto, ia belajar retorika, politik, dan visi kebangsaan. Dari rumah gurunya pula, Soekarno mengenal putri Tjokroaminoto, Siti Oetari (Siti Utari), menikah dan akhirnya bercerai.

Soekarno percaya, bangsa yang besar harus bersatu. Maka lahirlah Pancasila sebagai rumah bersama. Nasionalisme ala Bung Karno bukan sekadar cinta tanah air, tapi juga strategi politik untuk menyatukan beragam etnis, agama, dan kelas sosial.


Semaun: Komunisme dan Perlawanan Kelas

Semaun, lebih tua dari Soekarno, justru memilih jalan berbeda. Ia melihat penderitaan buruh dan petani sebagai masalah utama bangsa. Ia percaya, tanpa revolusi sosial, kemerdekaan hanya akan jadi milik segelintir elit.

Maka lahirlah PKI (Partai Komunis Indonesia) pada 1920, partai komunis pertama di Asia. Semaun menekankan perjuangan kelas, perlawanan buruh, dan perubahan struktur ekonomi.

Persinggungannya dengan Soekarno? Sama-sama anti-Belanda, tapi berbeda strategi. Dengan Kartosuwiryo, jelas bertolak belakang, karena komunisme menolak agama sebagai dasar politik.


Kartosuwiryo: Islamisme dan NII

Kartosuwiryo datang dari dunia pesantren. Ia yakin Islam bukan hanya agama, tapi juga sistem negara.
Pada 7 Agustus 1949, saat Republik Indonesia baru saja lahir dan menghadapi agresi Belanda, Kartosuwiryo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan ini berubah menjadi pemberontakan bersenjata yang dikenal sebagai Darul Islam/TII.

Meski pernah berjuang bersama laskar-laskar Islam melawan Belanda, langkah Kartosuwiryo akhirnya membuatnya berhadapan dengan Republik. Ia ditangkap pada 1962 dan dihukum mati.


Mengapa Mereka Bertolak Belakang?

Halaman:

Tags

Terkini

Kejaksaan RI telah Bertransformasi & Mereformasi Diri

Rabu, 19 November 2025 | 12:23 WIB