politik-eksbis

Dua Suara Peringatan: Saat Analisis Intelijen dan Ulama Bertemu dalam Pusaran Politik

Kamis, 11 September 2025 | 06:22 WIB
Prof Din Syamsuddin memberi kuliah umum di kampus Unmuh Jember bahas politik kebangsaan.

Ketikpos.com - Di tengah hiruk-pikuk politik yang memanas, Indonesia dihadapkan pada sebuah pertanyaan krusial: apakah kekacauan yang terjadi adalah gerakan spontan rakyat, atau skenario yang sengaja dirancang?
Benang merah analisis dari dua tokoh yang berbeda latar belakang, Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra, seorang mantan intelijen, dan Prof. Dr. Din Syamsudin, seorang ulama terkemuka, mengungkap satu kesimpulan mengejutkan.
Mereka sama-sama memperingatkan bahwa bangsa ini sedang menghadapi rekayasa politik licik untuk mengganggu stabilitas dan menjatuhkan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.


Isu Dibelokkan, Massa Dimanipulasi

Sri Radjasa Chandra, mantan intelijen negara, melihat adanya "pembajakan isu" dalam gelombang demonstrasi. Awalnya, tuntutan publik berfokus pada "Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran" melalui jalur resmi DPR. Namun, dalam perkembangannya, isu tersebut tiba-tiba bergeser menjadi seruan pembubaran DPR.

Sorotan terhadap gaya hidup hedonis dan dugaan korupsi anggota DPR ikut digoreng untuk memanaskan situasi. Isu ini sengaja dimanfaatkan untuk memicu amarah publik, yang pada akhirnya memicu tindakan ekstrem. Radjasa juga menyebut adanya "operasi garis dalam" yang melibatkan kelompok tertentu dan dugaan pembiaran aparat, dengan tujuan menciptakan opini publik bahwa pemerintah gagal.

Penting untuk membedakan antara kelompok pendemo yang sah, seperti buruh dan mahasiswa yang menyuarakan aspirasi, dengan kelompok anarkis yang melakukan perusakan. Menurut analisis, kelompok anarkis ini sengaja digalang dan bahkan didatangkan dari luar kota untuk menciptakan kekacauan.

Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra menggunakan istilah "Geng Solo" dalam keterkaitannya dengan aksi demonstrasi anarkis. Menurutnya, kelompok ini memiliki peran signifikan di lapangan, khususnya dalam bagaimana kerusuhan berkembang saat demo tersebut berlangsung.

Sri Radjasa menuding bahwa "Geng Solo" ikut mengendalikan situasi di lapangan demo. Aparat disebutnya seolah-olah sengaja memberikan ruang bagi situasi ricuh untuk berkembang. Tujuannya: menciptakan narasi bahwa pemerintah, khususnya pemerintahan Presiden Prabowo, gagal mengendalikan stabilitas dan seolah represif terhadap aspirasi rakyat.


Alarm dari Mimbar Maulid

Di sisi lain, dari peringatan Maulid Akbar di Markaz FPI, Petamburan, Prof. Dr. Din Syamsudin juga menyampaikan pesan yang sama. Beliau mengingatkan umat untuk waspada terhadap rekayasa politik yang dimainkan oleh pihak-pihak tersembunyi.

Prof. Din menyinggung penderitaan rakyat Palestina, lalu menghubungkannya dengan luka bangsa sendiri: kerusuhan sosial, pembakaran gedung, hingga tindakan represif aparat yang melukai rakyat. Beliau mengingatkan bahwa ada kekuatan besar yang didukung oligarki dengan dana melimpah, yang memanfaatkan krisis dan gerakan pemuda untuk menjalankan agenda tersembunyi mereka. Tujuannya ganda: mengguncang stabilitas nasional sekaligus menjatuhkan Presiden Prabowo.


Dua Suara, Satu Kesimpulan

Meskipun datang dari latar belakang yang berbeda, analisis Sri Radjasa dan Prof. Din memiliki kesimpulan yang sama:
• Isu Dibelokkan: Dari tuntutan "adili Jokowi dan makzulkan Gibran" menjadi "bubarkan DPR".
• Ada Skenario Sistematis: Kerusuhan bukan aksi spontan, melainkan hasil dari operasi yang terorganisir.
• Target Utama: Keduanya melihat tujuan akhirnya adalah melemahkan, bahkan menjatuhkanPresiden Prabowo Subianto.
• Seruan Waspada: Sri Radjasa mendorong masyarakat agar kritis terhadap manipulasi isu, sementara Prof. Din berpesan agar umat tetap sabar dan tidak terjebak provokasi.

Peringatan dari kedua tokoh ini menekankan satu hal: bangsa Indonesia sedang menghadapi ujian serius berupa rekayasa politik.


Penutup: Bersatu Hadapi Manipulasi

Halaman:

Terkini

Kejaksaan RI telah Bertransformasi & Mereformasi Diri

Rabu, 19 November 2025 | 12:23 WIB