ketikPos.com – Delapan bulan memimpin, Presiden Prabowo Subianto sudah tiga kali mengguncang komposisi kabinetnya.
Langkah cepat ini menandakan dua hal sekaligus: fleksibilitas dalam membaca kebutuhan pemerintahan, sekaligus sinyal bahwa stabilitas politik di dalam kabinet masih terus dicari.
Reshuffle I: Penyesuaian Awal
Langkah pertama dilakukan pada 19 Februari 2025. Saat itu, kursi Menteri Pendidikan Tinggi Saintek berganti dari Satryo Brodjonegoro ke Brian Yuliarto. Perubahan ini disebut sebagai “fine tuning” atau penyesuaian awal, guna menempatkan sosok yang lebih sesuai dengan visi riset dan teknologi.
Reshuffle II: Gejolak Besar
Reshuffle kedua, 8 September 2025, jauh lebih dramatis. Sejumlah nama besar lengser, termasuk Sri Mulyani dan Budi Arie Setiadi.
Pada momen ini pula, Prabowo memperkenalkan nomenklatur baru: Menteri dan Wakil Menteri Haji dan Umrah. Sebuah langkah yang disebut sebagai penajaman agenda keagamaan dan pelayanan jemaah, namun di sisi lain menimbulkan perdebatan karena dua kursi kunci justru dibiarkan kosong: Menko Polhukam dan Menpora.
Reshuffle III: Mengisi Kekosongan
Kini, melalui reshuffle ketiga, kekosongan itu terisi. Letjen (Purn) Djamari Chaniago resmi menduduki kursi Menko Polhukam, sementara Erick Thohir dipercaya menakhodai Kemenpora.
Selain itu, jabatan-jabatan lain yang sempat terbengkalai akibat kasus hukum—misalnya posisi Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang ditinggalkan Immanuel Ebenezer—juga akhirnya kembali diisi.
Dinamika Politik: Stabil atau Rapuh?
Tiga reshuffle dalam waktu singkat mengirimkan pesan campuran. Di satu sisi, Prabowo menunjukkan keluwesan untuk bergerak cepat merespons dinamika. Di sisi lain, publik membaca ada ketidakajegan komposisi kabinet yang membuat menteri seakan-akan hidup dalam ketidakpastian.
Namun, jika ditarik lebih jauh, pola ini mencerminkan gaya kepemimpinan Prabowo yang cenderung militeristik: bergerak cepat, mengganti posisi jika dianggap kurang efektif, dan terus menyesuaikan strategi hingga target tercapai.