Dari Cagar Kota ke Panggung Dunia?
Lebih jauh, Nasir melemparkan wacana ambisius: menaikkan status Kantor Ledeng dari cagar budaya kota menjadi warisan nasional, bahkan masuk radar UNESCO World Heritage.
Wacana yang dianggap perlu, apalagi jika gedung difungsikan sebagai museum atau ruang publik sejarah, dan bukan sekadar kantor pemerintahan.
Perlu juga dipikirkan, akankah selamanya wali kota berkantor di gedung yang terus menua tesebut? Perlukah, kantor baru yang lebih representatif dan segar sementara kanror ledeng jadi ikon kota yang lestari dan kebanggaan Palembang.
Ia juga memberi masukan teknis terkait penggunaan referensi ilmiah dan penyusunan visual dalam buku. “Kalau bisa, gunakan alat seperti Mendeley, dan tambahkan anotasi pada foto-foto agar pembaca lebih mudah memahami konteksnya,” ujarnya.
Buku, Souvenir, dan Simbol Identitas
Para penulis berharap buku ini tak hanya jadi bacaan akademis, tapi juga bisa menjadi souvenir edukatif bagi wisatawan, serta bahan ajar dan diskusi untuk memahami identitas Palembang ke depan.
“Gedung itu diam, tapi menyimpan banyak suara,” ujar Dudy Oskandar. “Tugas kami adalah menerjemahkan suara itu menjadi narasi yang hidup.”
Siapa Saja yang Hadir?
Acara peluncuran ini dihadiri oleh tokoh-tokoh penting, mulai dari SMB IV RM Fauwaz Diraja, Septa Marus (Sekretaris Dinas Kebudayaan Palembang), Fajarwiko (pimpinan RMOL Sumsel), Maspriel Aries (jurnalis dan pegiat literasi), Ade Indriani Zuchri (Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia), hingga Fadli Lonardo (Sekretaris DKP).
Mereka duduk sejajar dengan para seniman, budayawan, mahasiswa, hingga warga biasa—menandai bahwa sejarah bukan milik segelintir orang, melainkan milik semua yang merasa bagian dari kota ini.
Kolektif ingatan
Dalam semangat membuka lembaran baru sejarah urban Palembang, peluncuran buku ini menjadi pengingat bahwa bangunan bukan hanya soal tembok dan tiang. Ia adalah ruang kolektif ingatan. Dan Kantor Ledeng, sebagaimana digambarkan dalam buku ini, adalah cermin identitas, cagar rasa, dan warisan jiwa.