Kantor Ledeng Bercerita: Tiga Tokoh Bongkar Kisah Mistis & Historis Kantor Wali Kota Palembang dalam Buku Baru

photo author
DNU
- Senin, 30 Juni 2025 | 06:06 WIB
Bedah Buku  (Dok)
Bedah Buku (Dok)


KetikPos.com– Ada yang berbeda di Gedung Kesenian Palembang akhir pekan lalu.

Bukan pertunjukan seni, bukan pula konser musik, melainkan sebuah pementasan kata melalui peluncuran buku sejarah: “Kantor Wali Kota Palembang dari Masa ke Masa”.

Buku ini bukan sekadar dokumentasi. Ia adalah upaya menulis ulang napas sejarah kota melalui gedung yang kerap dilupakan fungsinya sebagai penanda zaman: Kantor Wali Kota Palembang—atau yang lebih dikenal rakyat sebagai Kantor Ledeng.

Dipandu moderator Vebri Al Lintani, bedah buku mengalir lancar. Merangkum dan menyerap pertanyaan serta aspirasi peserta.

Diresmikan bertepatan dengan perayaan Hari Ulang Tahun Kota Palembang dan menyambut Tahun Baru Islam, peluncuran buku ini menandai tonggak penting dalam pengarsipan memori kota.

Dari Arsip ke Anekdot: Menyulam Masa Silam

Dibalik penulisannya, tiga nama menjadi penanda keilmuan dan jurnalisme: Dr. Dedi Irwanto, MA, Dr. Kemas A. Rachman Panji, M.Si, dan Dudy Oskandar, jurnalis  yang dikenal piawai menulis sejarah hidup.

Mereka menggarap buku ini selama lima bulan, dari Oktober 2024 hingga Februari 2025, menyisir jejak bangunan tua yang dulunya juga berfungsi sebagai menara air pertama di Palembang.

"Ini bukan sekadar tentang arsitektur atau birokrasi. Ini tentang jiwa kota," ungkap Dr. Kemas saat sesi bedah buku. "Gedung ini menyimpan kisah pemimpin, aroma kekuasaan, bahkan tak sedikit cerita gaib."

Buku kantor ledeng dari masa ke masa diluncurkan dan dibedah
Buku kantor ledeng dari masa ke masa diluncurkan dan dibedah (Dok)

Ada Tuah, Ada Kutukan?

Yang membuat buku ini menggigit adalah ulasan spiritual dan simbolik dari gedung tersebut. Dr. Dedi Irwanto menyebut, ada "tuah" yang menyelubungi Kantor Ledeng.

Dalam bahasa awam: yang bekerja jujur akan dilimpahi keberkahan, sebaliknya yang menyimpang akan "tersandung nasib". Mistik atau metafora, biarlah pembaca yang menilai.

Tak pelak, aura-aura inilah yang memancing antusiasme peserta bedah buku, termasuk Muhamad Nasir, Ketua Dewan Kesenian Palembang, yang memberi tanggapan kritis namun mendalam.

Ia menyarankan agar unsur spiritual tersebut digarap lebih akademik—bukan untuk menakut-nakuti, tetapi justru memperkaya narasi warisan budaya tak benda.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: DNU

Tags

Rekomendasi

Terkini

X