Melalui Juru Bicara Komisi Yudisial, Miko Susanto Ginting menjelaskan, putusan pengadilan tidak bekerja di ruang hampa, karena ada aspirasi yang hidup di masyarakat secara sosiologis.
Selain itu, ada aspek yuridis di mana kepatuhan terhadap UUD 1945 dan Undang-Undang sangatlah penting. Serta pertimbangan-pertimbangan lain, seperti nilai-nilai demokrasi. Ke semua itu menjadi bagian dari yang mesti digali oleh hakim dalam membuat putusan.
“Untuk itu, KY akan melakukan pendalaman terhadap putusan itu, terutama untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran perilaku yang terjadi,” kata Miko Ginting.
Miko menyebut, salah satu bagian dari pendalaman itu bisa jadi dengan memanggil hakim untuk dimintakan klarifikasi. Apabila ada dugaan yang kuat telah terjadi pelanggaran perilaku hakim, maka KY akan melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang bersangkutan.
Namun, perlu digarisbawahi, terkait dengan substansi putusan, forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan ini adalah melalui upaya hukum. Domain KY berfokus pada aspek dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.
“KY juga akan berkomunikasi dengan Mahkamah Agung terkait dengan putusan ini serta aspek perilaku hakim yang terkait,” ucap Miko.
Sebelumnya, PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemiluhan Umum (KPU). Partai Prima merasa dirugikan pada tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta pemilu 2024.
Majelis Hakim menyatakan penggugat (Partai Prima) adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat (KPU). Majelis hakim menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500 juta kepada penggugat.
“Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun, 4 bulan, 7 hari,” tulis poin kelima dari putusan tersebut.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari menjelaskan kronologi perkara sengketa maupun gugatan yang dilakukan Partai Prima terhadap KPU.
Pertama, Partai Prima pernah mengajukan permohonan sengketa proses pemilu terutama dalam hal penetapan peserta pemilu 2024.
Permohonan tersebut pernah diajukan ke Bawaslu pada 20 Oktober 2022 dengan objek sengketa berita acara hasil verifikasi administrasi persyaratan partai politik calon peserta pemilu.
“Permohonan sengketa pemilu tersebut oleh Bawaslu ditolak melalui putusan Bawaslu Nomor 002/PS.REG/Bawaslu/X/2022,” ucap Hasyim.
Kedua, Partai Prima juga mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta dengan objek sengketa yang sama. Yaitu objek sengketa berita acara hasil verifikasi administrasi.
Dalam perkara tersebut, PTUN mengeluarkan penetapan dismissal yang pada pokoknya menyatakan PTUN Jakarta tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tersebut. Yang dimaksud dismissal karena objeknya masih berita acara.