Selama menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Sosiologi FISIP UI, Salim menulis tesis mengenai sejarah sosial film Indonesia.
Tesis ini lahir dari pengamatannya sebagai kritikus film di majalah Tempo selama bertahun-tahun. Dalam tesisnya, Salim mencoba menjawab keluhan tentang rendahnya mutu film Indonesia.
Ia menyimpulkan bahwa dominasi para pemilik modal yang memperlakukan film semata sebagai komoditas dagang menjadi penyebab utamanya.
Karena kalkulasi pembuatan film didasarkan pada keuntungan materi semata, mutu film pun ditentukan oleh pasar dan pemilik modal yang sering kali mengabaikan aspek artistik.
Tesis ini kemudian diterbitkan sebagai buku dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Sejak muda, Salim Said memiliki ambisi besar untuk menjadi seniman. Di Parepare, ia mulai menulis cerita pendek dan puisi.
Saat hijrah ke Pulau Jawa pada usia 16 tahun, ia terus mengembangkan minatnya dalam seni.
Ia menulis telaah karya-karya sastra, belajar teater, menyutradarai pertunjukan drama, dan tampil sebagai aktor.
Ia juga mempelajari dunia perfilman, menyutradarai beberapa film, dan tampil di depan kamera.
Namun, seiring waktu, Salim menyadari bahwa bakatnya dalam seni tidak sekuat kemampuan kritisnya.
Hal ini mendorongnya untuk beralih menjadi ilmuwan dan memusatkan perhatian pada studi ilmu sosial dan politik.
Sebagai ilmuwan sosial politik, Salim Said telah menerbitkan sekitar 10 buku dalam bahasa Indonesia dan Inggris, yang sebagian besar membahas peran politik militer Indonesia.
Selain itu, ia juga menghasilkan beberapa buku mengenai film dan perfilman. Meskipun tidak lagi berambisi menjadi seniman, kontribusinya dalam bidang seni tetap diakui.
Ia diangkat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta dan bahkan menjabat sebagai ketua lembaga tersebut selama hampir 10 tahun.