KetikPos.com — Gemparnya pemberitaan terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina, subholding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditaksir merugikan negara hingga Rp193,7 triliun dalam kurun waktu satu tahun, turut menjadi perhatian Ketua Umum HMI Komisariat Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda (STIHPADA) Cabang Palembang, Ibrahim, S.H.
Ibrahim menegaskan, setelah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus ini — termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga — Kejaksaan Agung harus benar-benar serius, profesional, dan berani menuntaskan proses hukum hingga akhir, tanpa pandang bulu.
Kejagung menyebut total kerugian kuasa negara dalam perkara korupsi ini mencapai Rp193,7 triliun. Rinciannya yakni kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kemudian kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.
Selain itu kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
Kejaksaan juga telah menetapkan Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga sebagai tersangka. Setelah menetapkan tersangka, Kejaksaan Agung harus betul-betul serius, sungguh-sungguh, dan berani untuk melakukan proses hukum ini dengan sebaik-baiknya hingga proses akhir.
Dalam rilisnya, Ibrahim mengutip pendapat pakar hukum acara pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dr. Muchamad Iksan, S.H., M.H. saat menerangkan skandal Pertamina.
Usai penangkapan tersangka, proses selanjutnya adalah penyidikan. Pakar hukum acara pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dr. Muchamad Iksan, S.H., M.H. menyebut bahwa saat ini tengah proses penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung karena ini perkara yang sangat besar, sehingga ditangani langsung oleh Kejaksaan Agung.
Dia menerangkan bahwa wewenang kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedikit berbeda. Wewenang KPK cukup sedikit istimewa yaitu bisa melakukan penyadapan atas persetujuan dewan pengawas KPK, sedangkan wewenang ini tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga yang lain.
“Karena ini dilakukan penyidikan maupun nanti penuntutan oleh Kejaksaan Agung, saya kira ini kejaksaan harus sangat serius,” ujar Iksan, Kamis (27/2).
Dia menilai, selama ini kepercayaan publik terhadap KPK itu sangat besar di dalam pemberantasan korupsi. Kejaksaan Agung diharapkan juga nanti mendapatkan kepercayaan publik terkait dengan pemberantasan ‘megakorupsi’ di Pertamina yang merugikan negara dengan sangat besar.
Untuk mengembalikan kerugian negara, Iksan menerangkan adanya wewenang penyitaan kepada tersangka dan terdakwa korupsi. Penyitaan menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan di antara kewenangan penyidik adalah melakukan penyitaan.
Barang-barang yang bisa disita menurut KUHAP adalah (1) Benda atau barang yang diperoleh dari hasil korupsi, (2) Benda atau barang yang digunakan untuk melakukan perbuatan korupsi, dan (3) benda-benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi, atau (4) Benda-benda yang secara langsung atau tidak langsung digunakan, dibuat, dipersiapkan untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Di sisi lain, penyitaan terhadap barang bukti apabila tidak ada kaitannya dengan tindak pidana maka tidak bisa untuk disita. Untuk itu, Iksan menilai kejaksaan harus kerja keras dalam kasus Pertamina untuk menelusuri keuntungan yang diperoleh dari korupsi itu saat ini berada di mana dan melibatkan siapa saja. Untuk money laundry, Iksan memandang hal tersebut sudah pasti terjadi, terlebih tindak korupsi ini telah berlangsung dari tahun 2018.
“Nah ini kerja kejaksaan sangat berat bagaimana supaya hasil korupsi itu bisa disita. Karena setelah disita itulah ada kemungkinan kemudian kalau nanti di pengadilan para terdakwa itu terbukti melakukan korupsi, nanti hakim bisa menjatuhkan pidana berupa perampasan terhadap hasil korupsi, dikembalikan kepada negara dalam hal ini pertamina. Demikian juga bisa menjatuhkan denda bagi mereka, jadi ganti rugi dan denda,” kata Dosen FH UMS itu.