KetikPos.com - Banjir bandang dan longsor parah yang melanda Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 ini telah menyebabkan ribuan rumah terendam, puluhan korban meninggal, ribuan warga mengungsi, ribuan hektare lahan pertanian rusak serta banyak warga kehilangan tempat tinggal, terutama di wilayah dataran rendah dan daerah aliran sungai.
Banjir bandang tersebut telah memicu keprihatinan luas terkait praktik pengelolaan lingkungan di kawasan hulu dan wilayah terdampak.
Kriminolog alumni Universitas Indonesia (UI), Hardiat Dani berpendapat bahwa bencana banjir bandang tersebut tidak hanya dipicu oleh cuaca ekstrem semata, tetapi juga oleh kerusakan lingkungan akibat dugaan aktivitas usaha ekstraktif yang tidak terkontrol.
Baca Juga: Empat Kabupaten di Sumatera Utara Dilanda Bencana Banjir dan Longsor Secara Bersamaan
Deforestasi yang masif dan praktik pertambangan di daerah aliran sungai juga diduga telah memperparah intensitas dan kecepatan aliran banjir bandang.
“Bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi di Sumatera ini tidak bisa dilepaskan dari praktik kejahatan lingkungan, terutama yang diduga juga melibatkan korporasi besar di sektor ekstraktif. Maka dari itu, negara harus berani menindak dan mengevaluasi perusahaan apabila ada yang terbukti merusak kawasan hulu dan menyebabkan bencana ekologis ini,” kata Kriminolog alumni Universitas Indonesia (UI), Hardiat Dani, di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (29/11/2025).
Hardiat menambahkan, berdasarkan analisis green criminology, kerusakan lingkungan yang disengaja atau akibat kelalaian korporasi merupakan bentuk kejahatan yang berdampak sistemik terhadap masyarakat.
Kerugian material dan sosial yang timbul bukan hanya akibat proses alam, tetapi akumulasi dari eksploitasi sumber daya tanpa pengawasan ketat.
Baca Juga: Prabowo Kunjungi Warga Bali Terdampak Banjir: Disambut Kisah Anjing “Pahlawan” Penyelamat Tuannya
“Apabila ada korporasi yang terlibat dalam pembabatan hutan dan pertambangan rakus harus dimintai pertanggungjawaban hukum, bukan sekadar administratif. Jika tidak ada penegakan tegas, siklus kejahatan lingkungan oleh korporasi akan terus berulang dan masyarakat selalu menjadi korban,” imbuh Hardiat.
Perekonomian beberapa daerah Sumatera kini lumpuh akibat terputusnya infrastruktur vital seperti jembatan, jalan dan jaringan listrik, sehingga memperlambat proses evakuasi maupun distribusi bantuan. Pemerintah daerah dan pusat menghadapi tantangan berat dalam memulihkan wilayah terdampak yang kini berubah menjadi zona bencana besar.
Baca Juga: Banjir Garis: Ratusan Karya Lukis Ramaikan Gedung Kesenian Palembang
Selain itu, banjir bandang di Sumatera ini juga mengancam kelestarian flora dan fauna yang sudah berada di ambang kepunahan. Habitat alami dari banyak spesies endemik, termasuk mamalia kecil, reptil hutan dan tumbuhan langka juga berpotensi mengalami kerusakan parah akibat luapan air dan hilangnya tutupan hutan. Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa upaya pemulihan ekosistem, risiko kepunahan spesies-spesies tersebut akan semakin meningkat.