Kajian Teknologi dan Inovasi Sosial: Penelitian dari Stanford Center on Longevity (2020) menekankan pentingnya inovasi teknologi dan desain inklusif berbasis usia dalam pembangunan masyarakat lansia.
Kajian Intergenerasional dan Pendidikan Sepanjang Hayat: Schuller & Watson (2009) menggarisbawahi pentingnya pendekatan pendidikan intergenerasional untuk mengatasi ageism dan memperkuat solidaritas sosial lintas usia.
Kajian di Indonesia menunjukkan keterbatasan kapasitas institusi pendidikan tinggi dalam menjangkau isu-isu lansia secara sistemik, meskipun potensi inovasi dan kerja sama lintas sektor mulai menunjukkan hasil positif dalam beberapa praktik baik. studi dari Zhang et al. (2021), yang menekankan bahwa perguruan tinggi yang melibatkan lansia dalam program belajar sepanjang hayat mampu meningkatkan partisipasi sosial dan kesejahteraan mental mereka secara signifikan. Keterlibatan perguruan tinggi dapat dikembangkan dalam lima aspek utama:
Pendidikan: Beberapa perguruan tinggi telah mulai mengintegrasikan kajian gerontologi dalam kurikulum, baik di program studi keperawatan, psikologi, maupun kesehatan masyarakat.
Penelitian: Perguruan tinggi memiliki kapasitas riset untuk mengembangkan model pelayanan kesehatan komunitas, teknologi asistif untuk lansia, serta pendekatan psikososial yang efektif.
Pengabdian Masyarakat: Universitas Merdeka Malang menjadi contoh praktik baik dalam pelibatan langsung mahasiswa dan dosen dalam aktivitas sosial, edukasi, dan pelatihan keterampilan untuk lansia.
Pelibatan Lansia dalam Pendidikan Sepanjang Hayat: Perguruan tinggi dapat mengembangkan program pembelajaran yang melibatkan lansia sebagai peserta didik, instruktur tamu, atau mentor, sehingga memperkuat posisi mereka sebagai subjek aktif dalam masyarakat.
Inkubasi Kebijakan Publik dan Advokasi Sosial: Lembaga-lembaga riset di perguruan tinggi berpotensi menjadi mitra strategis pemerintah dalam merumuskan kebijakan ramah lansia, melalui kajian akademik, riset kebijakan, dan advokasi berbasis data.
Kritik yang harus diajukan secara tegas terhadap institusi perguruan tinggi adalah kegagalan mereka dalam melihat isu penuaan sebagai agenda strategis. Banyak universitas di Indonesia masih terjebak dalam paradigma generasi muda dan cenderung mengabaikan kontribusi intelektual maupun pengalaman sosial yang dimiliki oleh lansia. Ketidakhadiran kebijakan internal kampus yang inklusif terhadap usia, serta minimnya dukungan anggaran dan riset khusus tentang lansia menunjukkan bahwa lansia belum menjadi prioritas dalam pengembangan pendidikan tinggi. Perguruan tinggi perlu merefleksikan kembali posisi sosialnya: apakah hanya akan menjadi menara gading yang eksklusif, atau menjelma menjadi simpul transformasi sosial yang terbuka, inklusif, dan berkeadilan lintas usia?
Dr. Wawan G. Jati (2020) dalam tulisannya tentang "Transformasi Perguruan Tinggi di Indonesia" menyoroti ketidakmampuan perguruan tinggi untuk mengadopsi isu-isu kontemporer yang menyentuh semua lapisan masyarakat, termasuk lansia. Menurutnya, banyak perguruan tinggi masih terjebak dalam pemikiran yang sempit, yaitu mengutamakan perkembangan ilmu yang berkaitan dengan teknologi dan ekonomi, tanpa memperhitungkan dampak sosial jangka panjang terhadap kelompok rentan, termasuk lansia.
Prof. Sutrisno (2021), dalam kajiannya mengenai inklusivitas dalam pendidikan tinggi, menilai bahwa perguruan tinggi di Indonesia belum sepenuhnya menerapkan pendidikan berbasis hak asasi manusia yang mengakomodasi semua usia. Beliau mencatat bahwa program-program kampus yang ramah lansia sangat jarang ditemukan, dan ini menunjukkan lemahnya sistem pengelolaan pendidikan yang inklusif di perguruan tinggi. Dr. Robert Butler (2019), seorang gerontolog terkenal asal Amerika Serikat, mengkritik banyak universitas di seluruh dunia yang masih mengabaikan isu penuaan dalam kurikulum mereka.
Dalam artikelnya, ia menyebutkan bahwa sistem pendidikan tinggi tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap studi tentang gerontologi dan kebutuhan lansia, meskipun populasi dunia yang menua semakin meningkat. Butler menekankan bahwa perguruan tinggi harus memperkenalkan pendidikan gerontologi lebih luas lagi untuk mempersiapkan mahasiswa dalam menghadapi dinamika masyarakat yang menua.
Prof. Sarah Harper (2020), pakar gerontologi dari Universitas Oxford, dalam bukunya "Aging Societies: The Global Demographic Revolution", mengemukakan bahwa meskipun banyak universitas di Eropa mengintegrasikan studi tentang lansia dalam program mereka, hal tersebut belum cukup untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar ramah lansia. Perguruan tinggi, menurutnya, harus menjadi pendorong utama dalam menciptakan kesadaran tentang pentingnya pendidikan sepanjang hayat, serta menciptakan kebijakan inklusif yang melibatkan lansia dalam kehidupan akademik dan sosial.
UNESCO (2021) mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi harus lebih berperan dalam memberikan pendidikan yang mendukung inklusivitas sosial, termasuk lansia. Perguruan tinggi, menurut laporan ini, harus mendobrak stigma yang menganggap lansia sebagai kelompok yang tidak relevan dalam dunia pendidikan.
Pendidikan tentang penuaan dan gerontologi seharusnya dimasukkan dalam kurikulum dasar di berbagai disiplin ilmu, baik dalam bidang sosial, kesehatan, maupun humaniora.
Akhirnya , meskipun perguruan tinggi di Indonesia memiliki potensi besar untuk berperan dalam menciptakan masyarakat ramah lansia, kenyataannya masih terdapat kesenjangan yang signifikan antara populasi lansia dan dunia akademik.
Perguruan tinggi, sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pengembangan sosial, memiliki tanggung jawab untuk mengakomodasi kebutuhan lansia dalam berbagai dimensi, mulai dari kurikulum hingga pengabdian masyarakat.
Namun, ketidakmampuan perguruan tinggi dalam menghadirkan kebijakan dan program yang inklusif terhadap lansia menunjukkan bahwa isu penuaan belum dianggap sebagai prioritas utama.
Penting bagi perguruan tinggi untuk memanfaatkan potensi besar Tri Dharma – pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat – untuk menciptakan ekosistem yang ramah lansia, melalui pengembangan kurikulum yang lebih berorientasi pada penuaan, peningkatan kesadaran di kalangan civitas akademika, serta kolaborasi dengan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil.