opini-tajuk

Profesor dalam Nama Penghargaan: Antara Aturan, Budaya, dan Penghormatan, Sorotan terhadap Profesor Mahyuddin Award

Rabu, 17 September 2025 | 08:28 WIB
Bolehkah, Gelar Profesor itu diugunakan manakala pemilinya sudah pensiun atau sudah meninggal dunia (dok)

“Dalam surat resmi untuk saya dan para Dirjen yang bergelar profesor ini tidak tercantum kata profesor. Begitu juga ketika saya selesai jadi menteri dan balik ke kampus, nanti akan kembali menjadi profesor,” jelasnya.

Nasir juga menyinggung perbedaan tradisi antara Indonesia dan negara lain.

“Kalau orang luar negeri berhenti dari dosen kemudian dibilang profesor, ia pasti tidak mau. Kalau di Indonesia begitu dia pensiun dan enggak disebut profesor, orang yang memanggil itu tidak akan diajak bicara,” katanya.

Kasus Habibie: Gelar Tak Melekat di Award
Contoh menarik adalah B.J. Habibie. Meski publik tetap menyapanya “Prof. Habibie”, penghargaan prestisius yang didirikan atas namanya disebut Habibie Award, bukan Profesor Habibie Award. Lembaganya pun, Habibie Center. 

Pilihan ini dianggap lebih aman secara akademik dan lebih elegan secara branding. Nama Habibie sudah cukup kuat tanpa harus disertai gelar.

Baca Juga: Profesor Mahyuddin Award 2025: Dari Langkah Perdana ke Perluasan Inspirasi

Dilema “Profesor Mahyuddin Award”
Jika penghargaan dinamai Profesor Mahyuddin Award, publik akan langsung mengingat sosok akademisi yang dimaksud.

Namun, dari sisi etika akademik, muncul tanda tanya: apakah boleh menggunakan gelar “Profesor” untuk tokoh yang sudah pensiun atau wafat, bila ia tidak dianugerahi status emeritus?

Di satu sisi, penggunaan gelar bisa dipandang sebagai bentuk penghormatan. Di sisi lain, secara formal bisa dipersoalkan karena bertentangan dengan aturan jabatan fungsional.

Antara Aturan dan Budaya
Di atas kertas, aturan akademik tegas: profesor pensiun → gelar harus dilepas. Tapi realitas sosial di Indonesia berbeda. Sapaan “profesor” dianggap sebagai simbol kehormatan, bukan sekadar jabatan administratif. Karena itu, banyak tokoh masih dipanggil “profesor” meski sudah purna bakti, bahkan setelah wafat.

Fenomena ini memperlihatkan benturan antara aturan akademik formal dan budaya penghormatan sosial.

Jalan Tengah
Solusi elegan bisa ditempuh agar tidak menimbulkan polemik:

Nama award cukup “Mahyuddin Award”, tanpa gelar.

Dalam deskripsi resmi ditulis:

Penghargaan ini didedikasikan untuk mengenang Prof. Mahyuddin, seorang guru besar yang telah berjasa besar di berbagai bidang

Halaman:

Tags

Terkini

Media: Arsitek Realitas di Era Digital

Rabu, 26 November 2025 | 08:12 WIB

Menjaga Wibawa Pendidikan dari Kriminalisasi Pendidik

Jumat, 24 Oktober 2025 | 14:09 WIB

Pelangi Beringin Lubai II: SIMBOLIS HUBUNGAN KEKERABATAN

Selasa, 23 September 2025 | 07:02 WIB

Pelangi Beringin Lubai dalam Kenangan I: Budaya Ngule

Senin, 22 September 2025 | 19:12 WIB

Rusuh: Rakyat Selalu Dipersalahkan, Kenapa?

Jumat, 5 September 2025 | 17:48 WIB

BEDAH ALA KRITIKUS SASTRA

Jumat, 29 Agustus 2025 | 22:28 WIB

BENDERA PUTIH TLAH DIKIBARKAN

Senin, 25 Agustus 2025 | 16:11 WIB