“Dalam surat resmi untuk saya dan para Dirjen yang bergelar profesor ini tidak tercantum kata profesor. Begitu juga ketika saya selesai jadi menteri dan balik ke kampus, nanti akan kembali menjadi profesor,” jelasnya.
Nasir juga menyinggung perbedaan tradisi antara Indonesia dan negara lain.
“Kalau orang luar negeri berhenti dari dosen kemudian dibilang profesor, ia pasti tidak mau. Kalau di Indonesia begitu dia pensiun dan enggak disebut profesor, orang yang memanggil itu tidak akan diajak bicara,” katanya.
Kasus Habibie: Gelar Tak Melekat di Award
Contoh menarik adalah B.J. Habibie. Meski publik tetap menyapanya “Prof. Habibie”, penghargaan prestisius yang didirikan atas namanya disebut Habibie Award, bukan Profesor Habibie Award. Lembaganya pun, Habibie Center.
Pilihan ini dianggap lebih aman secara akademik dan lebih elegan secara branding. Nama Habibie sudah cukup kuat tanpa harus disertai gelar.
Baca Juga: Profesor Mahyuddin Award 2025: Dari Langkah Perdana ke Perluasan Inspirasi
Dilema “Profesor Mahyuddin Award”
Jika penghargaan dinamai Profesor Mahyuddin Award, publik akan langsung mengingat sosok akademisi yang dimaksud.
Namun, dari sisi etika akademik, muncul tanda tanya: apakah boleh menggunakan gelar “Profesor” untuk tokoh yang sudah pensiun atau wafat, bila ia tidak dianugerahi status emeritus?
Di satu sisi, penggunaan gelar bisa dipandang sebagai bentuk penghormatan. Di sisi lain, secara formal bisa dipersoalkan karena bertentangan dengan aturan jabatan fungsional.
Antara Aturan dan Budaya
Di atas kertas, aturan akademik tegas: profesor pensiun → gelar harus dilepas. Tapi realitas sosial di Indonesia berbeda. Sapaan “profesor” dianggap sebagai simbol kehormatan, bukan sekadar jabatan administratif. Karena itu, banyak tokoh masih dipanggil “profesor” meski sudah purna bakti, bahkan setelah wafat.
Fenomena ini memperlihatkan benturan antara aturan akademik formal dan budaya penghormatan sosial.
Jalan Tengah
Solusi elegan bisa ditempuh agar tidak menimbulkan polemik:
Nama award cukup “Mahyuddin Award”, tanpa gelar.
Dalam deskripsi resmi ditulis:
Penghargaan ini didedikasikan untuk mengenang Prof. Mahyuddin, seorang guru besar yang telah berjasa besar di berbagai bidang