Ketika musim banjir tiba, mereka beranyutan di atas batang kayu yang mengapung.
Ketika musim kemarau datang, sungai surut jadi taman bermain: berenang, ikan-ikanan, selam suhok, bahkan membuat perosotan alam di tebing pasir.
Ikan pun melimpah: tapah, toman, baung, lampam, sebarau, jelawat, palau, kepiat, hingga gerombolan seluang.
Saking banyaknya, anak-anak bisa mancing tanpa umpan — cukup celupkan kail ke air, ikan akan tersangkut.
Itulah yang mereka sebut mancing kepas.
Orang dewasa punya cara khas: nyemetek, yakni memancing sambil bersenandung mantra dengan nada bercanda:
“Bok geribok sebarau mate due, kene sikok kene gale, laok ninek petang kele…”
Sebuah irama magis antara doa dan guyon, tanda cinta mereka pada sungai yang memberi kehidupan.
Ritual Air: Dari Sunat Hingga Pernikahan
Sungai Lubai juga menjadi bagian penting dalam ritual sosial dan spiritual masyarakat.
Anak-anak yang hendak disunat disuruh berendam di sungai sebelum fajar — agar darah berhenti cepat, katanya.
Calon pengantin mandi suci di sungai, dikawal keluarga sambil berdoa agar kehidupan rumah tangga bersih dan berkah.
Bahkan orang yang hendak keramas besar atau mandi setelah duka juga melakukannya di sungai.
Sebelum ada sumur atau pipa air bersih, Sungai Lubai adalah tempat semua orang membersihkan tubuh sekaligus jiwa.
Bendeh dan Nube Pedusunan: Pesta Ikan dan Kebersamaan
Ketika musim kemarau tiba dan air surut, bendeh dipukul keliling dusun — tanda warga akan menggelar nube pedusunan, pesta menangkap ikan bersama.
Mereka turun ke sungai dengan tawa, menggunakan tube akah (racun akar alami) atau putas untuk mengumpulkan ikan.
Tak hanya soal ikan — ini adalah ritual persaudaraan, warisan gotong royong yang menguatkan ikatan antarwarga.
Setelah ikan terkumpul, mereka memasak bersama, menyanyi, dan mengenang kisah para leluhur.
Lubai menjadi panggung sukacita — tempat manusia dan alam menyatu dalam satu irama.
Ketika Sungai Mulai Menangis
Namun, semua itu kini tinggal dalam kisah dan kenangan.
Seiring waktu, manusia lupa bahwa alam punya batas sabar.
Mulai awal 2000-an, Sungai Lubai kehilangan kilau beningnya.
Airnya keruh, ikan-ikan hilang, dan hutan di tepinya diganti perkebunan serta bangunan.
Limbah industri perlahan menggerogoti jantung sungai, membuatnya kian dangkal dan sakit.
Sungai yang dulu bersenandung, kini berbisik lirih dalam lumpur dan sepi.
Ia tak lagi menenangkan — hanya menyimpan rindu pada masa ketika manusia masih tahu arti menghormati.