opini-tajuk

Kegaduhan Ungkapan “Bajingan Tolol"

DNU
Selasa, 8 Agustus 2023 | 22:59 WIB
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. (dok)

Penutur bahasa tersebut lebih mementingkan perasaan.

Berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam wacana nonfiksi yang lebih condong kepada makna denotatif atau kata yang sebenarnya.

Seperti yang lagi ramai dibicarakan di media, baik media massa maupun media sosial dengan sebuah ungkapan “bajingan tolol”.

Dua kata tersebut bernilai rasa kurang elok dalam hal makna. Bahkan, bermakna sangat kasar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, kata “bajingan” bermakna penjahat, sedangkan kata “tolol” bermakna sangat bodoh atau bebal sehingga dua kata tersebut menjadi sebuah ungkapan makian terhadap seseorang.

Ungkapan tersebut menjadi ramai karena penuturnya dan subjek yang dibicarakan oleh penutur.

Ungkapan yang lagi ramai dibicarakan di media tersebut sebenarnya hal biasa jika orang biasa atau awam yang terlibat dalam membuat statemen itu.

Artinya, dari segi penutur dan lawan tuturnya. Kemudian, keakraban penutur dan lawan tutur juga mempengaruhi. Dalam kesantunan bahasa, semakin dekat seseorang maka semakin tidak santun orang tersebut berbahasa.

Akan tetapi, hal ini akan berbeda jika dalam konteks pembicaraan di muka umum atau areapublik.

Adalah seorang filsuf dan akademisi serta kritikus yang melontarkan ungkapan “bajingan tolol” tersebut kepada kepala negara sebagai subjek kritikannya.

Hal inilah yang menyebabkan ramai di masyarakat.

Dalam perspektif bahasa, ungkapan tersebut jelas merupakan ungkapan kasar sebagai makian terhadap seseorang.

Baca Juga: Dampak Turunnya Salju di Papua Tengah, Presiden Instruksikan Tiga Instansi Atasi Gagal Panen

Namun, dilihat lagi dari konteks pembicaraan, ungkapan ini muncul lahir sebagai kritik terhadap pemerintah. Dalam hal ini seorang kepala negara sebagai pengambil kebijakan. Kata-kata yang dipilih oleh kritikus tersebut mewakili pertimbangannya dalam memandang sebuah kebijakan.

Sebagai negara demokrasi yang mulai berkembang, seseorang bebas dalam memberikan kritikan terhadap pemerintah.

Tentunya dengan ketentuan undang-undang yang mengaturnya. Untuk menegaskan dan menajamkan kritikan tersebut, terkadang bahasa yang digunakan memang perlu diksi yang pas untuk situasi tersebut.

Halaman:

Tags

Terkini

Media: Arsitek Realitas di Era Digital

Rabu, 26 November 2025 | 08:12 WIB

Menjaga Wibawa Pendidikan dari Kriminalisasi Pendidik

Jumat, 24 Oktober 2025 | 14:09 WIB

Pelangi Beringin Lubai II: SIMBOLIS HUBUNGAN KEKERABATAN

Selasa, 23 September 2025 | 07:02 WIB

Pelangi Beringin Lubai dalam Kenangan I: Budaya Ngule

Senin, 22 September 2025 | 19:12 WIB

Rusuh: Rakyat Selalu Dipersalahkan, Kenapa?

Jumat, 5 September 2025 | 17:48 WIB

BEDAH ALA KRITIKUS SASTRA

Jumat, 29 Agustus 2025 | 22:28 WIB

BENDERA PUTIH TLAH DIKIBARKAN

Senin, 25 Agustus 2025 | 16:11 WIB