KetikPos.com -- Setelah berabad-abad menjadi pusat kekuasaan dan perdagangan di wilayah Nusantara, kekuasaan Kedatuan Sriwijaya mengalami kemunduran yang signifikan.
Palembang, salah satu pusat utama Kedatuan Sriwijaya, berada dalam situasi yang tidak menentu pasca kemunduran tersebut.
Meskipun secara formal berada di bawah kekuasaan Majapahit, namun kota ini kurang mendapat perhatian yang cukup.
Baca Juga: Takhta Kerajaan Sriwijaya: Kejayaan dalam Prasasti Boom Baru
Bahkan, terjerat dalam serbuan lanun (bajak laut) yang meresahkan wilayah tersebut. Situasi ini berubah ketika pasukan Cheng-Ho dari Dinasti Ming membantu membebaskan Palembang dari ancaman tersebut pada awal abad ke-15.
Namun, kebebasan ini tidak serta merta membawa kedamaian yang abadi bagi Palembang. Pada pertengahan abad ke-16 M, wilayah ini menjadi saksi pertarungan politik antara penguasa Jawa.
Setelah wafatnya Sultan Trenggono dari Kerajaan Islam Demak, terjadi perseteruan antara Arya Penangsang dari Jipang dan Pangeran Adiwijaya (Jaka Tingkir) yang berkuasa di Pajang.
Setelah Arya Penangsang tewas, salah satu pengikutnya yang setia, Ki Gede Ing Suro beserta kelompoknya, memilih meninggalkan Jawa dan menyingkir ke Palembang.
Baca Juga: HUT RI, Momen Koboi Napak Tilas Kerajaan Palembang
Kedatangan Ki Gede Ing Suro ini menjadi titik awal perubahan besar di Palembang.
Dengan visi baru dan semangat yang menggelora, ia mendirikan Kerajaan Palembang yang berbasis Islam.
Pendirian kerajaan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah Sumatera Selatan, membawa arus baru ke dalam wilayah yang pernah menjadi pusat kekuasaan besar.
Pusat pemerintahan Kerajaan Palembang Islam dikepalai oleh Keraton Kuto Gawang, yang kini dikenal sebagai komplek PT Pusri.
Lokasinya yang strategis di antara Plaju dan Pulau Kemaro, di tengah Sungai Musi, memberikan keunggulan strategis serta aksesibilitas yang baik.