Ketika Suara Benteng Memanggil: Zuriat Kesultanan, Budayawan, dan Pangdam II/Sriwijaya Bertemu dalam Senyap Kekhawatiran Atas Masa Depan BKB

photo author
- Rabu, 10 Desember 2025 | 20:26 WIB
Ketika Suara Benteng Memanggil: Zuriat Kesultanan, Budayawan, dan Pangdam II/Sriwijaya Bertemu dalam Senyap Kekhawatiran Atas Masa Depan BKB (Dok)
Ketika Suara Benteng Memanggil: Zuriat Kesultanan, Budayawan, dan Pangdam II/Sriwijaya Bertemu dalam Senyap Kekhawatiran Atas Masa Depan BKB (Dok)


KetikPos.com,Palembang — 10 Desember 2025
Di ruang tamu Pangdam II/Sriwijaya yang tenang, udara pagi iru terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena protokoler militer, melainkan karena satu hal yang sama-sama mereka pikirkan: nasib Benteng Kuto Besak (BKB)—sebuah benteng tua yang sejak ratusan tahun lalu menjadi saksi jatuh bangunnya Palembang.
Pada Rabu itu, Mayjen TNI Ujang Darwis, M.D.A mengundang zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, sejarawan, filolog, budayawan, Tim Ahli Cagar Budaya, dan pegiat pelestarian untuk duduk satu meja. Duduk, mendengar, dan berbicara tanpa sekat pangkat.
Mereka membahas sesuatu yang mungkin terlihat hanya sebagai “proyek pembangunan”, tetapi bagi sebagian besar orang yang hadir, itu adalah perubahan besar di jantung sejarah Palembang: pembangunan gedung tujuh lantai Rumah Sakit dr. AK Gani di kawasan yang mereka yakini masuk wilayah cagar budaya BKB.
Dan dari sinilah cerita itu dimulai.
Benteng, Warisan, dan Kekhawatiran yang Menggema
Sultan Palembang Darussalam, SMB IV Jayo Wikramo, tampil bukan sebagai simbol semata, melainkan sebagai suara kolektif masyarakat yang resah.
“BKB harus kembali dimanfaatkan sebagai heritage-nya. Kita ingin bersinergi dengan Pangdam,” ujar beliau, tegas namun tetap santun.
Menurutnya, aksi besar 1212 Penyelamatan BKB yang akan digelar Jumat mendatang bukan hanya soal menolak pembangunan gedung tinggi, tetapi seruan agar BKB dipercepat statusnya sebagai cagar budaya yang dilindungi dan difungsikan sesuai sejarahnya.
Bagi para zuriat, BKB bukan sekadar dinding tua. Ia adalah memoriam, ruang yang masih menyimpan jejak Kesultanan Palembang Darussalam dan pondasi identitas kota.
Perdebatan Batas Benteng: Pagar Bukan Penentu Sejarah
Budayawan Palembang yang juga tokoh AMPCB, Vebri Al Lintani, menyampaikan hal yang menjadi inti dari keresahan mereka:
“Batas BKB itu bukan pagar yang sekarang kita lihat. Menurut Keputusan Menteri tahun 2004, batasnya sampai ke Jalan Merdeka. Jadi gedung yang dibangun itu masuk zona cagar budaya.”
Ini bukan sekadar silang pendapat teknis. Ini soal cara melihat sejarah.
Menurut Balai Arkeologi, kawasan BKB justru mencakup harmoni bangunan-bangunan tua yang bagi masyarakat Palembang adalah “peta kenangan”:
Masjid Agung Palembang
Gedung Societeit
Hotel Musi
Kantor Ledeng
Museum
Gedung Oriental
Bila bangunan modern menjulang di tengahnya, apakah benteng itu masih bisa bercerita?
Vebri menegaskan bahwa revitalisasi BKB harus dilakukan secara menyeluruh, bukan tambal sulam. Dan pihak yang bisa mengambil keputusan besar bukanlah Pangdam, melainkan Presiden atau Menteri Pertahanan sebagai pemilik aset.
Dari Akademisi: Seruan Ilmiah yang Senada dengan Suara Masyarakat
Dr. Kemas A.R. Panji dari TACB Kota Palembang berpendapat:
“Pengembangan RS AK Gani lebih baik dipindah ke lokasi lain. Pengembangan wisata BKB akan sulit jika penataannya tidak terpadu.”
Sejarawan dan akademisi lain, seperti Prof. Dr. Farida R. Wargadalem dan Raden Alex Sandi, juga menekankan hal yang sama: keaslian BKB harus dipertahankan.
Pangdam: “Kami Komitmen Melestarikan BKB”
Setelah mendengar satu per satu suara, Pangdam II/Sriwijaya akhirnya menyampaikan komitmen Kodam:
“Kodam II/Sriwijaya komitmen menjaga, merawat, dan melestarikan Cagar Budaya Benteng Kuto Besak.”
Ia mengakui adanya perbedaan persepsi terkait batas kawasan BKB dan bahwa pembangunan gedung enam lantai itu “memang terlanjur berjalan”. Namun ia menegaskan bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan Pemkot Palembang untuk membuka sebagian kawasan BKB bagi wisata publik.
Pangdam bahkan mengundang keluarga Kesultanan untuk melihat langsung spot-spot sejarah di RS Benteng dan Kesdam.
Satu kalimatnya menjadi penanda harapan:
“Kita ingin BKB ditata lebih modern, namun tetap bermanfaat bagi orang banyak.”
Ketegangan, Harapan, dan Sebuah Benteng yang Menunggu Jawaban
Pertemuan itu tidak berakhir dengan keputusan final. Tidak pula dengan kesepakatan penuh. Namun pertemuan itu menghadirkan sesuatu yang lebih penting: pengakuan bersama bahwa BKB bukan sekadar tanah dan bangunan—tetapi memori kolektif Palembang.
Ketika pintu ruang tamu Pangdam ditutup sore itu, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah aksi 1212 nanti. Tetapi semua orang sepakat pada satu hal:
Benteng Kuto Besak harus tetap bercerita. Dan Palembang tidak boleh kehilangan suaranya.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Admin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X