pariwisata-kebudayaan

Menguak Sejarah Hotel Palembang, Warisan Raden Nangling yang Terlupakan

DNU
Sabtu, 27 Juli 2024 | 06:16 WIB
Kondisi terkini Hotel Palembang milik Raden Nangling, Senin (8/7), inset: Hotel Palembang di tahun 1905] (Dok)

KetikPos.com – Di tengah hiruk-pikuk kota Palembang yang modern, berdiri sebuah bangunan yang menyimpan sejarah panjang dan penuh makna.

Hotel Palembang, yang dahulu dikenal sebagai Hotel Raden Nangling, merupakan hotel pertama di kota ini dan menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting sejak berdirinya pada tahun 1905.

Raden Nangling, seorang pengusaha terkenal sekaligus direktur Koran Teradjoe dan ketua Sarekat Islam Cabang Palembang, mendirikan hotel ini yang menjadi tempat menginap favorit baik bagi pribumi maupun orang asing, termasuk bangsa Belanda. Tidak hanya sebagai pengusaha, Raden Nangling juga merupakan pejuang kemerdekaan dan keturunan Suhunan Husin Dia’uddin.

Menurut Raden Helmi Fansuri, keturunan keempat Raden Nangling, hotel ini beroperasi dari tahun 1905 hingga 1945, sebelum akhirnya digunakan oleh laskar perjuangan selama masa kemerdekaan hingga tahun 1947. "Pada tahun 1945, hotel ini menjadi markas laskar perjuangan yang berjuang untuk kemerdekaan hingga tahun 1947," ujarnya saat ditemui di kediamannya, Senin (8/7).

Di zaman kolonial Belanda, Hotel Palembang dikenal luas dan dihuni oleh berbagai kalangan, termasuk para kyai dan ulama. Salah satu cerita menarik adalah tentang Kiyai Bambu Seribu yang kerap menginap di hotel ini. Kamar yang ditempati beliau selalu rapi meski tidak pernah terlihat tidur di sana, menambah aura mistis dan keagungan tempat tersebut.

"Kalau fasilitasnya ya cara dulu adalah tempat menginap saja dalam arti tidak ada yang lain, para tamu cuma untuk menginap bae di hotel ini, umumnya yang nginep ada orang Belanda, ada orang-orang kita, termasuk ada kyai Bambu Seribu nginep di hotel ini," kata Helmi.

Sejarawan kota Palembang, Kemas Ari Panji, menambahkan bahwa kawasan 17 Ilir, tempat hotel ini berada, adalah pusat perdagangan sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam. "Wilayah 17 Ilir dikenal sebagai pusat perdagangan dan sejak dulu sudah menjadi sentral aktivitas ekonomi kota," ujarnya.

Menurut Kemas Ari, kawasan 17 Ilir ini disebut Gogoek Ketandan atau Gogoek Sayangan pada zaman Kesultanan Palembang Darussalam. "Ketandan adalah Guguk dari Bendahara, pemungut pajak zaman Kesultanan Palembang Darussalam, sedangkan Sayangan itu adalah guguk tempat pengrajin tembaga," jelasnya. Kawasan ini secara administrasi mencakup wilayah dari simpang Pasar Burung hingga ke Jalan Kol Atmo dan Kuburan Raden Nangling di depan Pasar Cinde.

Raden Helmi Fansuri juga menjelaskan bahwa sejak tahun 1960, hotel ini diubah menjadi rumah tinggal oleh orangtuanya, Raden Hamzah F Soetonelendro, dan sebagian lantai bawah dijadikan toko-toko untuk disewakan.

"Tanah Raden Nangling ini luasnya sekitar setengah hektar dan sebagian sudah dijadikan toko-toko," tambahnya.

Meski kini hanya menyisakan foto Raden Nangling dan beberapa perabotan zaman dulu, hotel ini tetap menyimpan banyak cerita dan kenangan.

"Orang tidak bisa sembarangan tidur di bekas hotel ini karena beberapa teman saya pernah sakit jika tidak tidur dengan sopan," ujar Helmi, menambahkan sentuhan misteri pada bangunan tua ini.

Hotel Palembang, atau Hotel Raden Nangling, memiliki tempat istimewa dalam sejarah kota.

Hotel ini tidak hanya melayani sebagai tempat menginap, tetapi juga menjadi saksi bisu perjuangan kemerdekaan dan pusat interaksi berbagai budaya dan bangsa.

Halaman:

Tags

Terkini