Sebagai alternatif, Rubi mengusulkan pengembangan kawasan di sekitar Jembatan Ampera. Misalnya:
Revitalisasi Benteng Kuto Besak menjadi pusat seni budaya yang mengangkat tradisi Palembang.
Pengembangan jalur pedestrian di sepanjang Sungai Musi dengan pencahayaan artistik yang menjadikan Ampera pusat perhatian tanpa harus mengubah strukturnya.
Event malam di bawah Ampera seperti festival musik, pameran seni, atau kuliner khas Palembang, yang tetap menjaga Ampera sebagai latar utama tanpa eksploitasi berlebihan.
Pendekatan ini tidak hanya menjaga keaslian Ampera, tetapi juga menciptakan pengalaman wisata yang lebih terintegrasi tanpa merusak nilai sejarah.
7. Kajian Bisnis yang Matang
Sebelum melangkah lebih jauh, pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak: ahli sejarah, arsitek, ekonom, dan masyarakat lokal. Kajian bisnis harus realistis, dengan mempertimbangkan:
Target wisatawan: apakah menarik pasar lokal atau mancanegara?
Potensi kerusakan struktur akibat tambahan beban wisata.
Prediksi pemasukan vs. biaya perawatan tambahan.
Tanpa kajian mendalam, inovasi ini berisiko gagal dan justru mengorbankan ikon bersejarah.
8. Menjaga Marwah Ikon Kota
Rubi menutup refleksinya dengan pesan kuat: cara terbaik menghormati warisan budaya adalah dengan menjaganya, bukan mengomersialisasinya. Revitalisasi yang dilakukan harus memastikan bahwa Ampera tetap berdiri megah sebagai simbol kebanggaan, bukan menjadi korban eksploitasi wisata. Menjadikan Ampera objek wisata boleh saja, asalkan marwahnya sebagai ikon sejarah tidak direndahkan.
Menghormati dengan Bijak
Jembatan Ampera bukan sekadar struktur beton dan baja; ia adalah identitas Palembang. Sebagai masyarakat yang mencintai kotanya, penting bagi kita untuk berpikir jangka panjang. Akankah kita menjadikannya ikon abadi atau sekadar komoditas sementara? Langkah-langkah yang diambil hari ini akan menentukan bagaimana generasi mendatang melihat Ampera: sebagai warisan yang dirawat dengan bijak atau sebagai monumen yang kehilangan esensinya.