pariwisata-kebudayaan

Sapatha Sriwijaya: Sumpah Kutukan yang Membentuk Peradaban dan Menjaga Integritas Kekuasaan

DNU
Kamis, 10 Juli 2025 | 04:34 WIB
Seminar membahas peninggalan sriwijaya (dok)

 Dalam teks-teks prasasti Sriwijaya seperti Prasasti Talang Tuwo, Kota Kapur, dan Telaga Batu, Wahyu menemukan pola sapatha yang tak hanya menghukum secara duniawi, tapi juga dalam tatanan kosmik dan spiritual, dengan hukuman berupa kegilaan, sakit, hingga kematian.

 “Kata-kata dalam prasasti bukan hanya dokumen, tapi alat kekuasaan. Ia performatif—ucapan itu menjadi kenyataan. Sriwijaya adalah kerajaan yang canggih dalam mengelola kata sebagai alat kuasa,” tegasnya.

 Kekhawatiran Politik dan Penegasan Otoritas

Arkeolog BRIN, Sondang Martini Siregar, memberikan sudut pandang arkeologis dengan menyatakan bahwa banyaknya prasasti kutukan adalah refleksi dari kekhawatiran politik pusat terhadap daerah-daerah taklukan. Menurutnya, Sriwijaya menyadari bahwa pengkhianatan dari dalam jauh lebih berbahaya dibanding serangan dari luar.

“Ini adalah strategi kekuasaan. Melalui prasasti kutukan, datu menegaskan otoritasnya dan membentuk rasa takut yang sistematis agar rakyat dan pejabat tetap loyal,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa siapapun yang menghasut, membujuk, atau sekadar mengetahui rencana pengkhianatan akan terkena kutukan yang sama—sebuah cara yang “seram tapi efektif” dalam mengendalikan kerajaan yang luas.

 Warisan Moral untuk Masa Kini

Seminar ini tak hanya mengungkap sisi gelap hukum kuno, tetapi juga memberikan refleksi mendalam untuk masa kini. Dedi menutup dengan pesan agar para pejabat masa kini mampu menghayati makna sapatha, bukan sekadar mengucapkannya dalam seremoni jabatan.

 “Sapatha itu sakral. Bila disalahgunakan, akan membawa bencana bukan hanya bagi pelaku tapi juga masyarakat. Tapi bila dijalankan dengan niat tulus, akan jadi kekuatan yang memakmurkan negeri,” ujarnya.

Halaman:

Tags

Terkini