KetikPos.com -- Jika suatu hari langkah kaki membawa Anda ke Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, jangan lewatkan untuk mencicipi camilan sederhana namun kaya makna ini: bingko. Hanya dengan seribu rupiah, Anda bisa menikmati cita rasa warisan leluhur yang masih bertahan hingga kini.
Di Kota Palembang, kudapan ini dikenal sebagai kue gunjing — sepintas mirip kue pukis. Namun di Pedamaran, bingko lebih dari sekadar makanan ringan. Ia adalah bagian dari kehidupan. Dari pagi hingga sore, hampir di setiap sudut kampung, aroma harum tepung beras dan kelapa parut yang dipanggang dalam cetakan logam menyeruak dari tungku-tungku rumah warga.
Dari Dapur Ibu ke Tangan Anak
Menurut Robinhod Kunut, tokoh adat Marga Danau, bingko sudah hadir sejak lama, bahkan sebelum ada catatan tertulis. Dulu, masyarakat membuat tepung beras secara manual—diisar atau digiling menggunakan batu. Bahannya sederhana: tepung beras dan kelapa, dua hasil alam yang melimpah di daerah agraris ini.
“Zaman dulu, hampir semua rumah punya cetakan bingko dari logam. Hampir semua ibu membuatnya, apalagi yang punya banyak anak,” kenangnya sambil tersenyum.
Masyarakat Pedamaran memang dikenal memiliki keluarga besar. Nama-nama anak seperti Barap, Guluk, Monde, jadi bukti tingginya angka kelahiran waktu itu. Dalam kondisi seperti itu, bingko hadir sebagai solusi pangan rumahan yang cepat, murah, dan bergizi.
Dijajakan di Atas Tampah, Disayangi oleh Anak-anak
Tak hanya dimasak untuk keluarga, bingko juga dijual. Menurut Suparman Guluks, pada era 1970–1990-an, para ibu menjual bingko setelah kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Anak-anak mereka yang menjajakan dengan tampah bambu, berkeliling dari jam 6 sampai 8 pagi.
“Hasil jualannya buat uang jajan. Anak-anak juga belajar bertanggung jawab sejak kecil,” katanya.
Salah satunya adalah Ayani, yang kini menjadi pembuat bingko legendaris di simpang zebra Pedamaran. Ia masih ingat betul masa kecilnya:
“Kalau bingko belum laku jam 8, saya pulang dan lanjut sekolah. Dulu, satu biji cuma lima rupiah. Saya dapat upah satu rupiah, cukup buat beli jajan,” katanya sambil tertawa kecil.
Kini, Ayani masih meneruskan resep turun-temurun itu. Ia mulai membuat bingko setiap pukul 3 sore. Dalam dua jam, semua ludes. Tak perlu berkeliling, pelanggan sudah menunggu.
Lebih dari Sekadar Kue: Bingko adalah Rasa Rumah
Meski zaman berubah, rasa bingko tetap sama. Teksturnya lembut, gurih dari kelapa parut, dan manis alami. Varian dari pisang gedah yang dibungkus daun pisang pun menghadirkan aroma khas yang tak bisa dilupakan.
Dedi Irwanto, warga Palembang yang rutin mudik ke Pedamaran, menyebut bingko sebagai "rasa rumah".
“Di Palembang ada bingko, tapi beda. Bingko di Pedamaran punya rasa nostalgia. Aromanya, rasanya, bahkan suasana saat membelinya—semua mengingatkan saya pada ibu,” ujarnya haru.
Bingko: Jejak Tradisi dalam Genggaman
Kini, meski jumlah anak tak sebanyak dulu, dan tidak lagi dijual keliling, bingko tetap hidup di hati masyarakat Pedamaran. Ia bukan hanya camilan, tapi jejak kearifan lokal—tentang gotong royong, kasih sayang ibu, dan kehangatan keluarga.