pariwisata-kebudayaan

Wak Pet: Antara Idealisme Berkesenian dan Kebutuhan Ekonomi (Penerima Profesor Mahyuddin Award 2025 Kategori Seniman)

Senin, 15 September 2025 | 11:15 WIB
Wak Pet, seniman dapat anugerah Profesor Mahyuddin Award 2025 (tangkapan layar youtube @Mang Dayat)

 

Nama Ki Agus Wahab Said mungkin asing di telinga banyak orang. Tetapi sebut saja Wak Pet, dan bayangan itu segera hadir: sosok tua bersahaja, topi pet yang tak pernah lepas dari kepalanya, wajah penuh guratan usia, dan tubuh yang tetap tegak di panggung Dul Muluk.

Topi pet itulah yang menjadi identitas, trade mark yang ia “patentkan” sendiri sejak 1964. Hanya pada saat shalat, mandi, atau beristirahat di rumah, topi itu ditanggalkan.

Selebihnya, ia adalah bagian dari hidupnya—seperti halnya seni teater Dul Muluk yang sudah mendarah daging.

Akar Kehidupan yang Sederhana

Lahir di Kelurahan 14 Ulu, Palembang, 16 September 1943, Wak Pet tumbuh dalam kesederhanaan. Ayahnya hanyalah anggota grup musik keroncong Sinar Kencana. Namun bahkan sebelum ia sempat mengenal sang ayah, takdir berkata lain: ketika masih bayi berusia enam bulan, sang ayah wafat.

Sejak kecil, bakat seninya sudah tampak. Saat kelas 5 Sekolah Rakyat, ia sudah membentuk kelompok drama sederhana di sekolahnya.

Namun minat itu justru membuatnya sering bolos. Ketika masuk STM, ia semakin keranjingan menonton pertunjukan Dul Muluk, hingga akhirnya dikeluarkan dari sekolah.

SMP pun tak bertahan lama. Dunia pendidikan formal ia tinggalkan, demi dunia panggung yang memikat hatinya.

Mengabdikan Hidup pada Dul Muluk

Tahun 1961, di usia 18 tahun, ia resmi terjun menjadi pemain Dul Muluk. Sambil menapaki jalan hidup rumah tangga—menikah muda, membesarkan 10 anak dari dua pernikahan, dan kini bercucu 18 orang—ia tetap setia pada panggung.

Ia pernah mendirikan berbagai grup, mulai dari Sinar Palembang, Tunas Muda, HIBRA (Hiburan Rakyat), hingga Fajar Harapan. Perannya bukan sekadar pemain, tetapi juga sutradara, organisator, dan motor penggerak.

Era 1970–1990-an adalah masa keemasan. Dul Muluk dan Bangsawan menjadi hiburan utama rakyat Palembang.

Bayaran yang dulu hanya Rp3.000 per pertunjukan, perlahan naik hingga jutaan rupiah per sekali tampil satu grup.

Halaman:

Tags

Terkini