Generasi muda diajak membaca sejarah dari benda kecil yang menyimpan kisah besar bangsa
KetikPos.com, Palembang — Di selasar Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) yang menghadap langsung ke Sungai Musi, deretan panel berisi 80 prangko bergambar para pendiri bangsa tampak berkilau diterpa cahaya sore. Masing-masing prangko kecil itu menyimpan wajah tokoh besar — dari anggota BPUPKI, PPKI, hingga Sukarno-Hatta — yang membentuk fondasi Republik Indonesia.
Di tempat inilah, Workshop Filateli “Para Pendiri Bangsa” digelar seusai pelantikan Pengurus Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) Sumatera Selatan oleh Menteri Kebudayaan Dr. Fadli Zon.
Workshop ini menjadi ruang belajar yang unik — memadukan sejarah, seni, dan kebudayaan dalam format yang jarang ditemui: membaca sejarah lewat prangko.
Prangko: Arsip Mini Bangsa
Narasumber utama, Dr. Syarifuddin, dosen sejarah Universitas Sriwijaya, membuka sesi dengan membedah satu per satu sosok dalam seri prangko “Para Pendiri Bangsa”.
Menurutnya, setiap prangko bukan hanya gambar, tetapi “dokumen visual” yang menyimpan jejak perjuangan dan pemikiran bangsa.
“Dari prangko, kita belajar mengenali tokoh-tokoh BPUPKI dan PPKI yang merumuskan dasar negara. Generasi muda bisa belajar nasionalisme dari media yang sederhana tapi kuat ini,” ujarnya di hadapan peserta.
Ia juga menyinggung bahwa di antara tokoh-tokoh tersebut terdapat nama-nama yang jarang disebut dalam buku sejarah populer — termasuk ayah dari Anies Baswedan, R. Abdurrahman Baswedan, yang berperan penting dalam diplomasi awal kemerdekaan.
Belajar dari Kolektor: Hobi yang Bernilai Sejarah dan Ekonomi
Workshop semakin menarik ketika Said Faisal Basymeleh, salah satu kolektor prangko terkenal di Indonesia, berbagi pengalamannya menjadi filatelis selama puluhan tahun.
Ia bercerita bagaimana hobi mengoleksi prangko bukan hanya nostalgia, tetapi bisa menjadi investasi pengetahuan dan nilai ekonomi.
“Setiap prangko adalah potongan sejarah. Kalau kita bisa membaca maknanya, kita belajar menghargai waktu, bangsa, dan jasa para tokoh,” katanya.
“Hobi ini juga bisa menjadi pintu masuk bagi generasi muda untuk mengenal dunia seni rupa miniatur, desain, dan bahkan ekonomi kreatif.”
Said juga menampilkan beberapa koleksi langka dari kolektor senior, termasuk prangko edisi awal masa Republik dan seri internasional bertema solidaritas Asia-Afrika.
Antusiasme Peserta: Sejarah yang Dipegang, Bukan Hanya Dibaca
Workshop diikuti oleh beragam kalangan: penggiat sejarah, anggota PFI Sumsel, mahasiswa, seniman, hingga budayawan Palembang.
Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP) M. Nasir turut hadir sebagai peserta aktif, dan berkesempatan menerima cenderamata serta sertifikat simbolis dari panitia.
Suasana diskusi berlangsung hangat dan interaktif. Para peserta tidak hanya mendengarkan, tapi juga memegang langsung prangko seri “Para Pendiri Bangsa” yang disusun kronologis, lengkap dengan kisah perjuangan masing-masing tokoh.
Bagi sebagian mahasiswa, ini adalah pertama kalinya mereka “melihat sejarah dari benda seukuran ujung jari”.
“Ternyata prangko bisa jadi cara baru untuk mengenal pahlawan bangsa. Lebih menarik dari sekadar membaca nama di buku teks,” ujar Dina, salah satu mahasiswa sejarah Unsri yang hadir.
Prangko Sebagai Media Pendidikan dan Diplomasi Budaya
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang Sulaiman Amin menjelaskan bahwa workshop ini merupakan bagian dari rangkaian Jumpa Museum 2025, hasil kolaborasi dengan Kementerian Kebudayaan dan PFI Sumsel.
Menurutnya, kegiatan ini bukan hanya nostalgia masa lalu, tapi strategi edukasi sejarah berbasis budaya populer.
“Prangko bisa dijadikan media pembelajaran sejarah di sekolah. Visualnya menarik, temanya luas, dan menyentuh semua aspek kebangsaan,” jelasnya.
Selain membahas prangko, peserta juga diajak mengunjungi pameran benda pusaka hasil temuan Sungai Musi, yang menegaskan Palembang sebagai pusat peradaban kuno dan warisan kebudayaan nasional.
Kota Tertua, Semangat Terbaru
Palembang — kota berusia 1.342 tahun yang dulu menjadi pusat kejayaan Sriwijaya — kini kembali menjadi pionir dalam menghidupkan museum dan kebudayaan.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebelumnya menegaskan pentingnya mengubah museum menjadi ruang publik yang hidup, edukatif, dan berdaya ekonomi.
“Prangko, museum, dan budaya adalah cara kita berbicara dengan masa depan. Melalui kegiatan seperti ini, Palembang menunjukkan bahwa sejarah bukan masa lalu, tapi kekuatan untuk melangkah maju,” kata Fadli Zon.
Dengan tiket masuk museum yang sangat terjangkau — Rp2.000 untuk anak-anak, Rp5.000 untuk dewasa, dan Rp20.000 untuk wisatawan mancanegara — Museum SMB II kini menatap target 30.000 pengunjung di tahun 2025.
Workshop dan pameran prangko diharapkan menjadi magnet baru bagi wisata budaya, sekaligus menanamkan kembali semangat menghargai jasa para pendiri bangsa — dimulai dari benda sekecil prangko.
“Sejarah tidak hanya di buku dan monumen,” tutup Dr. Syarifuddin, “tapi juga di selembar prangko yang menyimpan wajah, ide, dan semangat Indonesia.”